Langsung ke konten utama

Ritual Perpisahan Manusia

Malam itu, ketika kami sedang menunggu kedatangan jenazah salah satu keluarga di keraton yang meninggal di salah satu rumah sakit di kendari. Karena katanya dari informasi yang dapat didengar dari perbincangan disekitar bahwa kapal cepat atau super jet tidak mau membawanya ke sini dan akhirnya dibawa dengan lewat darat menggunakan mobil ambulans dan menyebrang menggunakan fery yang akhirnya waktu tibanya di sini agak lama karena menggunakan shift fery terakhir untuk hari ini. Entah apa yang dirasakan keluarganya di dalam yang menunggu terlalu lama untuk dapat bertemu dengan jenazah walaupun yang dia temui tersebut adalah sebuah badan yang tidak mempunyai jiwa lagi, sebuah jenazah yang kaku dan dingin, sebuah jenazah yang pucat itu.

Sejenak sebelum jenazah tersebut saya melihat banyak anak-anak yang sedang asyik bermain di depan rumah seakan akan perasaan mereka keramaian ini adalah sebuah ajang yang menarik untuk tidak dilewatkan dengan bermain-main, dan para orang tua pun hanya membiarkan mereka seperti itu karena merekapun sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menunggu keadatang jenazah. Memperthatikan tingkah pola laku anak-anak ini menjadi sebuah “hiburan” juga sih dalam penantian kedatangan jenazah ini.
Kesan yang semula sunyi dan senyap ini dan sesekali di penuhi dengan ringkihan dari sekelompok anak-anak terebut ataupun beberapa topik pembicaraan yang dilakukan oleh bapak-bapak yang duduk di depan rumah kemudian berubah menjadi lebih intim dan terkesan mencekam ketika sesosok jenazah tersebut mulai nampak di atas sebuah tandu rumah sakit dan di jinjing oleh beberapa orang menuju ke arah rumah.
Sontak situasi dalam rumah yang tadinya masih sunyi mulai dipenuhi oleh derai tangis keluarga yang ditinggalkan. Sejenak suasana ini menjadikan kita seperti patung yang hanya mampu menatap kondisi ini dan sesekali mengelus dada untuk berusaha menahan diri agar tidak terlalu jauh larut dalam kesedihan keluarga, setidaknya kita masih memengang sebuah substansi takziah yang dilakukan adalah untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan bukannya ikut-ikutan lartu dalam kesedihan ini kan. Sebenarnya kematian adalah sebuah tahapan perjalanan manusia ke yang lebih tinggi lagi tingkatannya. Setidaknya kan ketika seseorang masuk pada fase “kematian” maka dia akan mempertanggung jawabkan semua yang dilakukan pada semasa hidupnya dan tentunya dia tidak perlu khawatir lagi tentang kondisinya di sana karena itu sudah menjadi tanggung jawaba Tuhan kan.
Kematian akan membawa seseorang ke suatu daerah yang sudah ditentukan oleh Tuhan, dan tentunya tugas utama kita disana hanya sebatas “pertanggung jawaban” atas apa yang kita lakukan semasa hidup kita. Kita tidak perlu lagi sibuk memikirkan pekerjaan, mencari nafkah, takut dipergunjingkan dan mempergunjingkan orang lain dan urusan lainnya yang sudah kita lewati tahapannya semasa didunia dulu.
Saya kemudian tertarik dengan dua sosok anak-anak tadi yang sedang asyik bermain kemudian berubah menjadi sebuah isak tangis kesedihan. Apakah kemudian anak ini menangis karena memang merasa ditinggalkan oleh Almarhum atau hanya ketika melihat orang tuanya atau keluarganya kemudian mereka menangis? Tapi saya yakin mereka menangis pasti punya alasan juga kan. Namun inilah yang seringkali kita lihat pada saat ketika ada kematian sebuah ritual yang pasti dan selalu ada mungkin adalah isak tangis kesedihan untuk merayakan acara perpisahan dengan Almarhum/Almarhumah. Hal ini tidak terlepas pada siapapun walaupun mereka pasti tahu bahwa sebesar apapun mereka menangisi hal ini toh ini tidak akan berubah kan, ini sudah takdir dan Tuhan punya jalan lain untukknya.
Kematian mestinya kan menjadi suatu refleksi bagi yang masih hidup bahwa kematian itu dekat sekali dengan manusia, dan apakah kemudian kita menerima ini nantinya dengan kesiapan yang cukup untuk fase “pertanggungjawaban” kita nantinya. Atau mungkin isak tangis yang terkadang dilakukan dengan meraung-raung tidak menerima hal ini adalah sebuah proyeksi ketakutan kita terhadap kematian dan mengeluarkannya pada saat moment tersebut? Mungkin juga sih. Saya pun pernah merasakan seperti ini ketika kehilangan orany yang dikasihidan ritual isak tangis pun menjadi-jadi pada saat itu, tapi ketika saya mengingat apa yang dialaminya ketika hidupnya dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya dan menjadikannya susah tidur dan kesakitan dengan membandingkan kondisi beliau ketika menjadi mayat seperti sedang tersenyum kaku seakan dia lupa bahwa dia pernah sakit keras sebelum beliau meninggal. Saya berpikir kemudian mungkin ini yang di gariskan oleh Tuhan untukknya dan saya pikir mungkin ini yang terbaik untukknya setidaknya dia tidak tersiksa oleh penyakitnya tersebut. Dan tentunya tinggal para anak-anaknyalah yang akan mendoakanannya agar diberikan jalan yang mulus dan di tempatkan di tempat yang layak disisi Allah SWT.
Tapi walaupun ritual yang terjadi ini pasti kita temukan dalam sebuah proses kematian tentunya kita patut merefleksikan diri bahwa kita juga pasti mati dan proses ini mampukah kita melewatinya dengan tanpa membuat orang lain menjadi sedih ataupun kemudian kita mampu dalam fase “pertanggung jawaban” ini? Saya kira kita akan memberikan yang terbaik untuk itu atas karunia Allah SWT dan kita juga mesti mempertanggung jawabkan itu di dunia kan. Semoga nantinya hal ini mampu membuat orang-orang disekitar. Hal kemudian untuk bisa merefleksikan diri atas proses kematian ini bukan hanya membuat mereka menangisi sebuah kematian yang tidak akan merubah sebuah kematian itu.

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.