Seringkali kita mendengar tentang seperti apa sebenarnya mahasiswa, dimana posisinya di masyarakat maupun dalam sebuah perubahan di suatu kelompok sosial di masyarakat. Namun sekarang seakan ada semacam keberfungsian mahasiswa menjadi tereduksi dan menjadi sebuah image sedikit buruk di masyarakat, misalnya saja beberapa aksi unjuk rasa yang kemudian menjadi penambah sebuah kejengkelan masyarakat dimana masyarakat menjadi agen perusak fasilitas umum, adapula aksi-aksi tawuran mahasiswa yang mengakibatkan fasilitas kampus rusak maupun saling melukainya dua kawan yang tidak akur di kampus ini yang semestinya mereka bisa bersatu. Apalagi representative masyarakat intelektual yang tersemat dalam diri mahasiswa ini tergambarkan seperti orang-orang yang tidak dapat bepikir dengan kepala dingin untuk menyelesaikan masalahnya. Kota makassar dan dinamika kemahasiswaannya juga sangat terkenal dengan keradikalannya bahkan terkadang sedikit anarkis, begitu yang sering saya dengar jika bertemu dengan orang dan menanyakan saya kuliah dimana.
Sebenarnya apa dan siapa yang mesti disalahkan dengan beberapa “kenakalan” mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi untuk sebuah protes terhadap sistem yang sedikit amburadul ini. Kemarin saja hampir selama tiga hari berturut-turut mahasiswa makassar yang disorot dalam media elektronik akibat kenakalan yang dilakukannya dalam melakukan unjuk rasa. Ada dua hal berbeda memang ketika kita mengatakan aksi solidaritas dan tindakan anarkis, ya memang apa yang dilakukan kawan-kawan mahasiswa adalah sebuah solidaritas atas tindakan yang dilakukan oknum yang katanya sih juga sebagai pengayom masyarakat. Namun solidaritas yang dilakukan semula dan ini menjadi niat dalam melakukan aksi ini ternodai dengan tindakan anarkis yang terjadi terhadap fasilitas umum dan buntutnya masyarakat merasa dirugikan dan membalas tindakan kenakalan mahasiswa ini maka jadilah layaknya agen perubahan masyarakat ini berubah menjadi “lawan tanding” masyarakat di jalanan tawuran.
Tentunya hal ini terjadi seperti layaknya hukum alam, interaksi terjadi ketika adanya aksi dan reaksi. Namun disini mana yang bisa kita justifikasi sebagai sebuah aksi dan yang mana reaksi?, bingung kan jadinya ketika kita memperhadapkan paradigma kita untuk menilai hal ini dari dua sisi yakni mahasiswa dan masyarakat yang pastinya secara jelas saling membela dengan apa yang dilakukannya. Saya cuman mencoba netral dengan kondisi ini dengan melihatnya menajdi sebuah instrumen yang mungkin saja menjadi image sehingga ada sebuah pengrusakkan karakter diantara keduannya.
Mahasiswa makassar memang menjadi lahan berita yang cukup menjual, dikarenakan aksi-aksi unjuk rasanya yang seringkali terjadi kericuhan ataupun “pertentangan” dengan aparat keamanan, namun biar bagaimanapun juga yang sebab yang kedua ini tentunya diterima juga dalam skala nasional dalam melakukan aksi unjuk rasa. Entah ini karena “warisan sejarah” atau apalah yang menjadikannya seperti ini terus terusan dalam medan pergerakan mahasiswa. Mengenai lahan berita tadi, memang makassar sering disorot dalam pergerakan mahasiswanya yang tergolong radikal dan saya sendiri masih dalam arus pendukungan dalam ini dan semoga ini akan menjadi sebuah control etika yang tentunya kawan-kawan mahasiswa juga mempunyai ini. Saya teringat dengan kata salah satu dosen saya ketika diskusi dalam ruang kuliah yaitu hanya orang yang memiliki yang bisa membagi dan memberi, bagaimana mungkin ketika kita ingin memberi sebuah control etikda dalam negara dan kita sendiri tidak memiliki etika.
Ketika kita berbicara tentang mahasiswa ada sebuah kebesaran yang tersemat di dalamnya bagaimana tidak padanan kata “maha” yang artinya besar dan ini hanya dimiliki oleh Tuhan, yang kemudian ditempelkan ke seseorang yang duduk di bangku kuliah yang semula kita mesti melewati sebuah fase dari kelahiran kemudian bersekolah di taman kanak kanak disebut murid hingga sekolah dasar dan terjadi perubahan ketika sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) menjadi siswa dan kemudian ketika memasuki perguruan tinggi menjadi mahasiswa. Terjadi sebuah fase yang pastinya terjadi pula dialektika di dalamnya sehingga kemudian kenapa bisa disebutkan seperti itu. Asumsi ini kemudian akan kita angkat fase perfase sehingga kita akan menemukan posisi mahasiswa yang sebenarnya sebagai kelompok intelektual di masyarakat bisa menjadi “obat” dalam persoalan-persoalan di masyarakat. Dan mungkin saja asumsi ini berubah menjadi persepsi dan faktual pada posisi kumulatifnya kemudian.
Dalam Al quran Allah SWT memilih manusia sebagai khalifah di muka bumi dan dalam Quran surat Ali Imran ayat 104 Allah SWT berfirman “dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” dari ayat iini memang Allah SWT telah menyatakan hendaknya ada segolongan umat yang menajdi agen perubah dalam masyarakat, yang tentunya hal ini menjadi sebuah potensi yang dimilki oleh semua umat manusia, ini dapat dilihat dari akhir ayat ini yang menyatakan itulah mereka orang yang beruntung, apakah ini dimaksud orang-orang terpelajar dan orang-orang yang belajar?. Seorang filsuf indonesia sekaligus tokoh sastra dan sejarah indonesia Kuntowijoyo membahas ayat ini lebih pada adanya sebuah gerakan sosial di kelompok yang beruntung ini, dimana dia membaginya dalam gerakan sosial profeti yang di dalamnya dibagi menjadi gerakan liberasi, humanisasi dan transendensi.
Namun inilah pesan-pesan Al Quran yang menjadi sebuah pesan universal yang tentunya sarat akan makna-makna kehidupan, seperti yang pernah dikatakan oleh ilmuwan timur tengah Muhammad Ahmad Khalafalah yang menyatakan pembacaan pesan-pesan Al Quran yang bukan saja memuat sebuah sejarah dari para orang-orang terdahulu maupun kehidupan para salafus saleh namun merupakan tuntutan nilai-nilai visioner, yang tentunya pembacaan terhadap realitas al quran terhadap pemecahan masalah dalam realitas faktual sekarang tidak membuat al quran menjadi hanya sebagai cerita sejarah masa lalu namun sebagai kunci penyelesaian masalah-masalah umat hingga akhir zaman nanti dan hal itu dijamin oleh Allah SWT dalam kitabNya ini.
Dari padanan kata “maha” ini yang hanya dimiliki oleh Allah SWT sebagai tuhan alam semesta dan menambah padanan kata siswa setelah kita melewati beberapa fase, maka dapat dilihat dari hal ini ada nilai-nilai transendensi dalam keberfungsian mahasiswa dalam pergerakan dan dalam kontrolnya terhadap kehidupan sosial di masyarakat. Allah SWT juga berpesan akan dinaikkannya derajat orang-orang yang memiliki ilmu atau menuntut ilmu pengetahuan. Maka untuk menyikapi dialektika mahasiswa ini mestinya kita merujuk pada fase-fase yang terjadi disekitar mahasiswa yang tentunnya akan membawa pada identitas otentik dari mahasiswa ini tentuny. Sehingga apa yang menjadi anggapan sebagian masyarakat tadi dapat terjawab dengan kesadaran kedirian yang mestinya dimilki oleh mahasiswa dalam dialektika pergerakannya.
Makadari itu kita akan melihat beberapa bangunan asumsi dari perjalanan fase dialektika seseorang sehingga tersemat dalam dirinya sebagai seorang mahasiswa yang sadar akan keberfungsian sosialnya di masyarakat. Dan tentunya hal ini disangkutpautkan dengan kehidupan masyarakat sehingga dapat disinergikan antara kedua kubu yang mestinya menjadi sahabat dalam suka dan duka, bukannya menjadi lawan tanding satu sama lainnya di lahan tawuran dan tindakan anarkisme yang membuat keduannya mengalami kerugian dan tentunya “mereka” yang paling memanfaatkan momentum ini sebagai pemuas kebutuhan syahwat kekuasaannya.
Bau Bau,07/03/01
Komentar