Langsung ke konten utama

Kemana dan Dimana


Sore itu aku kembali bertemu dengan teman berbagi pendapat tentang kondisi sosial di dekat kita, maklum kita sama-sama punya minat dalam mengomentari masalah itu, walaupun terkadang komentar kita hanya berputar pada kita berdua saja. Tapi hal itu masih cukup menarik bagi kami, karena cita-cita kami ingin menjadi pengamat atau bahkan bisa saja menjadi seorang kritikus (bukan sebuah pemainan etimology “kritikus” yaitu kripik yang dimakan tikus atau tikus yang dijadikan kripik).
Teman saya itu biasa dipanggil aroe, menurut saya dia itu orang yang cukup menyenangkan ketika diajak berdiskusi karena saya sendiri merasa seperti berbicara dengan cermin ketika berbincang-bincang apa saja dengannya. Mulai dari masalah sosial, terkadang pula tentang politik, ekonomi, logika, sedikit-sedikit tentang filsafat kehidupan. Namun sore itu kian menurunkan tirai gelap malamnya dan melepas belenggu rantai bulan sehingga bulan akan terpental ke tengah tengah antara bumi dan langit. Kulihat dia sedikit membungkukkan kepalanya di tanah dan sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu aku mencoba mendekatinya dan duduk tepat disamping kanannya hingga suara desahan nafasnya yang sesekali terdengar membahana situasi saat itu, mungkin ada sesuatu yang mengganjal hatinya pada saat itu. Lalu kutanya dia “aroe ada apa?, kok kamu seperti sedang memikirkan sesuatu dan dari posisimu sekarang saya bisa membaca kondisimu layaknya sedang memikirkan sesuatu yang kau dukung dan sesuatu yang sepertinya kau tolak, tapi kamu tidak dapat untuk berpijak pada salah satunya!”, setidaknya saya tahu keadaannya seperti itu karena kita sudah cukup lama bersama kan.
Dengan mengusap kedua telapak tangannya dia kemudian mulai angkat bicara,” ada hal yang membuat saya sekarang seperti tidak bisa meijakkan kaki ataupun berkomentar tentang kondisi yang selama ini menjadi pokok pikiran dalam diskusi kita selama ini, “korupsi” atau yang sering kali kita berkelakar tentang “kezoliman otoritas”. Saya kemudian sedikit berderik tentang hal itu, wah menarik juga sih, seorang aroe yang selama ini saya kenal orang yang kekeuh dengan pendiriannya, ketika ada suatu hal yang tidak disukainnya maka dia akan mengomentarinya habis-habisan atau tidak dia akan menuliskan kegamangannya itu dengan bahasa yang cukup membuat sekilas kita terjebak dalam pusaran ke rumitan ungkapan-ungkapan yang dituliskannya namun jika kita menyadarinya akan terlihat sebuah susunan tulisan yang memberikan informasi yang cukup kompleks atas sesuatu itu. Lalu ku bertanya kepadannya, ceritakan apa itu, kemudian kita akan membedahnya layaknya seekor kodok yang jadi bahan percobaan dan dia sendiri enjoy dengan itu.
Dia pun mulai angkat bicara,” begini malam itu saya sedang menemani mama saya di salah satu runah kolega saya, kemudian mereka sedang memperbincangkan tentang pekerjaan masing-masing dan apa yang mereka dapatkan dari hal itu dan saya sangat menyimak pembicaraan itu, selanjutnya kemudian pembicaraan itu terus berkembang hingga akhirnya pada saat arah pembicaraan mengarah pada ketersinggungannya dengan “keuangan”, ya bagaiman tidak gaji selama satu bulan tidak cukup untuk seorang pegawai negeri rendahan seperti meraka dengan jumlah anak yang cukup membuat para pegawai BKKBN dibuatnya sibuk untuk melakukan pendataan keluarga atau cukup untuk membuat kolom dalam kartu keluarga nyaris tak tersisa untuk hal lainnya selain nama orang. Mereka kemudian saling menyinggung tentang posisi pekerjaan mereka dengan sumber-sumber keuangan yang mungkin akan berdempetan dengan posisi mereka itu.
Cukup komplekslah perbincangan itu, namun saya kemudian sangat gusar dengan komentar salah satu dari kelompok diskusi para orang tua itu, mengenai masalah honor atau hal-hal lainnya menyangkut itu atas pekerjaan mereka,”masa pekerja lapangan seperti kamu tidak mempunyai uang, padahal banyak loh hal-hal yang bisa dimanfaatkan untuk itu, kita kan sudah kerja lebih capek dari para kepala dinas atau kepala bidang yang kerjaannya hanya datang beberapa hari dalam seminggu, memimpin rapat, menandatangani persuratan, dan tentunya “menyuruh-nyuruh” pegawai yang ada dibawahnya. Tapi dengan arif yang lainnya kemudian menjawab bahwa hal itu tidak usah dipersoalkan lah yang penting keikhlasan kita dalam malakukan pekerjaan kita, biarlah tuhan yang menentukan hal itu”, wah sungguh sulit tentunya mendapatkan pegawai seperti itu,”gumamku dalam hati.
Namun itu tidak bertahan lama dengan serangan selanjutnya, yang kemudian menjadikan diskusi ini semakin alot saja, ya” dimana salah satu dari mereka lagi kemudian berkomentar bahwa kita telah banyak bekerja toh yang dapat orang-orang diatas yang menerimannya atas kerja keras kita, begitu asumsi mereka tapi untuk membuktikannya secara empirik masih sangsi juga sih. Katanya lagi kok tidak ada yang menetes sedikitpun ke bawah bahkan menguapun tidak ada! Begitu tandasnya dengan berapi-api, walaupun pada saat itu tidak ada yang sedang terbakar cuman nyala api di sisi rokok yang sekali-kali memerah akibat isapan demi isapan yang dilakukan terhadap sisi satunya. Secara garis besar apa yang menjadi topik hangat dalam diskusi ini adalah mengenai sesuatu yang dinamakan “uang capek” ya seperti itu kira-kira, begitu sanggahku”.
Hal ini sebenarnya menjadi masalah juga, kita seakan menghadap pada dua sisi yang menjadi fakta dilapangan antara idealisme terhadap pekerjaan dan toleransi atas sebuah kerja keras yang memang itulah pekerjaan mereka dengan beberapa lembar uang rupiah yang akan dibayarkan untuk itu, dan hal ini diluar gaji selama satu bulan. Pikirku mungkin ini satu hal yang berbeda antara “uang capek” dan gaji bulanan. Terus saya seakan menjadi bingung dimana menempatkan posisi disatu sisi inilah konsekuensi loyalitas pekerjaan dan toleransi kemanusiaan.
Aku kemudian berpikir sejenak ketika aroe melemparkan sisi deskriptif pernyataan tadi kepada saya,”apa ya? Hal ini memang cukup rumit juga. Mau kemana dan dimana?, tapi mestinya kita melihatnya dalam suatu telaah yang bisa memberikan jawaban untuk ini, setidaknya jawaban sementara sebelum nantinya entah siapa yang akan bisa dipercayakan untuk meng”ijtihad”kan hal ini yang kemudian kita jadikan sebagai sebuah fatwa yang mengikat mungkin. Saya kemudian teringat dengan sebuah pernyataan dari sebuah bacaan yang pernah saya baca dan lupa siapa yang menuliskannya tapi semoga Allah SWT memberikan rahmat dan amalan yang setimpal atas pengetahuan yang telah dibagikannya itu, dia mengatakan seperti ini “ketika niat melakukan sesuatu itu berangkat dari suatu hal yang baik namun kemudian dilakukan dengan salah maka bisa saja hal itu menjadi salah, namun ketika niat melakukan sesuatu itu semula berangkat dari penilaian yang buruk namun kemudian dilakukan terhadap suatu hal yang benar, maka bisa saja dia menjadi suatu hal yang baik tentunya”.
Namun ini akan menjadi hal yang berbeda dengabn kondisi yang terjadi sekarang, seakan semua ini menjadi wajar dan mesti dilakukan dalam kondisi seperti itu tadi. Tapi dari dua hal yang dipersandingkan untuk dilihat kondisinya antara loyalitas kerja dan toleransi kemanusiaan menjadi seolah-olah benar keduannya. Tapi persoalan apakah itu benar atau salah, diridhoi atau tidak, di berkahi atau tidak Tuhan punya wewenang untuk itu selama kita menjalankan perintahNya dan menajuhi laranganNya. Tapi sikap pasrah akan menjadikan semua ini mandek kan?, aroe kembali mempertanyakannya”.
Dalam melihat persoalan ini dan sedikit berkomentar dari sedikitnya pengetahuan yang kita ketahui tentang hal ini, mestinya kita bisa netral untuk itu, sedikit apologi dari kebingungan yang kadarnya mulai menyamai Aroe sore itu”. Kalau begitu kita akan melihatnya dari perspektif masing masing dari dua persandingan tadi. Maka kita akan memulainnya dari loyalitas kerja kemudian menanjak kepada toleransi kemanusiaan tanpa membandingkan keduannya. Dan saya mendapat untuk mengomentari tentang loyalitas kerja dan Aroe tentang toleransi kemanusiaan.
Begini, gumamku untuk mengawali komentarku tentang itu”. Loyalitas kerja merupakan hal yang perlu dipegang oleh seorang pegawai untuk melaksanakan pekerjaannya karena dengan namun loyalitas akan terbangun ketika kecintaan terhadap pekerjaan tersebut, dan loyalitas yang dimiliki oleh manusia selalunya dikaitkan dengan adanya sebuah “motif” tertentu.! Aroe lansung mengingatkan untuk tidak menyangkutkannya dengan hal yang bermakna penggantian keloyalan tersebut, dengan berdehem sedikit”. Oh maaf, hampir saja! Saya langsung menyadari hal itu. Lalu bagaimana lagi mencari sebuah pemikiran yang lebih variatif sehingga asumsi kami ini menjadi sedikit berbobot ketika nantinya harus dipertanggung jawabkan, entah kapan itu. He..he…
Korupsi memang terjadi ketika sebuah nilai loyalitas itu menjadi sebuah alasan untuk memperoleh hal diluar yang wajib dia peroleh, sedikit belokan halus untuk tidak menyinggungnya. Loyalitas terhadap pekerjaan mestinya menjadi pupuk bagi sebuah proses pemerintahan yang baik dan bersih. Diaman pegawainnya yang ikhlas melakukan hal itu sebagai sebuah amanah yang diberikan kepadanya dan biarkan otoritas Tuhan yang akan menentukan hasil dari semua itu, semua orang mempunyai rejeki masing-masing kita tinggak berusaha saja, Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum jika tidak merubah nasibnya sendiri, begitu ujarku untuk menghentikan sementara komentarku tentang loyalitas kerja’!.
Sekarang giliranmu Aroe, “komentar mengenai toleransi kemanusiaan memang sangat perlu kita kan diciptakan olehNya dalam sebuah keseimbangan antara satu dan lainnya, seperti itu pulalah substansi mahluk sosial terhadap sesamanya, namun ketika hal ini disangkutpautkan dengan masalah ini, akhirnya kita menyangkutkan masalah ini juga walaupun tadi sudah mencoba untuk memisahkannya. Ketika seseorang yang bekerja untuk kepentingan kita dengan kerja keras dan sedikit mondar-mandir kesana kesini hanya untuk urusan kita terhadap pekerjaan yang dilakoninya, ketika seseorang bekerja dengan sungguh-sungguh dan kita tidak sedikitpun merelakan sesuatu yang sehingga hal itu dapat dilakukannya untuk menghilangkan “capek”nya walaupun untuk sejenak, padahal merekapun sebenarnya digaji untuk itu kan. Sebenarnya disinilah pertentangan ini disatu sisi kita ingin berterima kasih dengan memberikan hal “pengganti capek” tadi, padahal ketika hal ini dibudayakan akan menjadi suatu yang akan terjadi terus menerus sehingga “keikhlasan” seseorang itu ditandai dengan hal itu. Atau kita menentang itu dengan alasan bahwa itukan sudah pekerjaan mereka dan itu sudah diperhitungkan gajinya dan diakumulasi dalam gaji sebulannya.
Teringat bahwa korupsi seringkali terjadi terhadap hal-hal yang kecil namun kemudian dibudayakan akan menjadi suatu kebiasaan. Menilai bagaimana tumbuhnya bibit korupsikan seperti ini juga. Tapi apa mau dikata ketika hal seperti diatas tadi terjadi apakah kita akan diam atau melanjutkan tapi konsekuensi yang munculpun akan ada dua satu sisi yakni kita dinilai tidak empati karena tidak ada peduli dengan sumbangsih mereka terhadap kepentingan kita, di sisi lain hal ini akan menjadi menjadi stimulus tumbuhnya bibit korupsi di pemerintahan. Hari semakin menggantung dan azan maghrib menggema di ruang kosong antar langit dan bumi yang mulai menggelap. Maka kami berdua menyepakati satu hal tentang hal ini, yakni rezeki Tuhan sudah mengaturnya untuk kita, kita tinggal melaksanakan pekerjaan kita saja. Doa dan ikhtiar itu perlu, apalah arti hidup mewah tapi tidak berkah dan hidup senang tapi tidak dapat dikenang bagaiman kita mendapatkannya karena semuanya instant. Dan terakhir tingga ikhtiar kita yang akan kemana dan dimana hal itu.



Bau Bau, 15 Maret 2010
…Jaya…

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.