Menjadi pegawai negeri di kampung halaman saya memang seperti sebuah prestasi bagi seorang sarjana. Hal ini dapat kita lihat bagaimana antusias para sarjana di kota ini ketika sedang dibukannya pendaftaran calon pegawai negeri sipil, mulai dari sarjana yang masih baru hingga yang sudah cukup lama bergeliat dalam dunia pegawai negeri sebagai pegawai magang di salah satu instansi pemerintahan di daerah ini. Mungkin hal ini juga banyak terjadi di kota-kota lain di negeri ini, sebuah obsesi menjadi pegawai negeri.
Mungkin fenomena ini terjadi karena di kota-kota kecil seperti kampung halaman saya ini dan beberapa daerah di indonesia masih cukup menguntungkan untuk menjadi seorang pegawai negeri, karena mungkin tidak ada sebuah instansi lain yang dapat menampung lonjakan lulusan institusi pendidikan mulai dari lulusan sma hingga sarjana. Disamping itu mengingat pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil sebagian besar cukup “nyaman” dengan tidak perlu menguras tenaga yang banyak untuk itu tapi ada beberapa juga sih yang cukup memberikan perhatian energi kita yang banyak, hal lain dari seorang pegawai negeri adalah tunjangan ketika pensiun nanti yang membedakannya dengan pegawai swasta, kemudian stimulus lainnya mungkin dari pengamatan saya pakaian dinas pegawai negeri bisa menjadi sebuah kebanggaan tersendiri orang yang memakainnya apalagi untuk sebuah kota kecil seperti kampung halaman saya tercinta ini.
Cara memandang masyarakat pun terhadap orang-orang yang memakai pakaian dinas ini memang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang tidak memakai ini. Sebuah penghormatan yang lebih terhadap kelompok masyarakat yang mengenakan pakaian dinas ini, seperti misalnya dia akan diperlakukan “lebih” terhadap yang tidak memakai ini mungkin mereka dipandang sebagai orang yang pandai atau menjadi terhormat dengan pakainnya. Hal ini mungkin yang menjadikan sebuah “ongkos” untuk menjadi pegawai negeri ini yang cukup mahal.
Dalam suatu pengalaman berbincang dengan salah satu pegawai negeri di salah satu instansi mengenai penerimaan pegawai ini, saya malah ditawari sejumlah uang untuk kemudian katannya saya akan di”pegang” sehingga nantinya saya dapat diterima menjadi pegawai. Tapi saya kemudian sedikit tersenyum dengan pernyataan itu, masa untuk menjadi pegawai saja mesti ongkos ini dan itu belum lagi katanya mesti ada link-link dan sebagainnya. Selain itu besaran ongkos yang diminta untuk dapat di”pegang” tersebut tidaklah kecil mungkin untuk seorang pegawai golongan terendah akan menghabiskan 5-7 tahun gaji pokoknya. Wah….sempat juga sih terbisik untuk tidak usah jadi pegawai negeri kalau kayak begini, tapi untuk daerah sekaliber kampung saya ini jalan menjadi pegawai negeri adalah jalan yang bisa dianggap paling “menggiurkan” lah.
Saya pernah mendengar pernyataan, jika engkau ingin menikmati pekerjaanmu maka cintailah pekerjaanmu itu. Tapi untuk sebuah pekerjaan yang di peroleh dengan harga yang tidak sedikit seperti ini apakah cinta itu bisa terwujud?, cinta kan tak perlu berat di ongkos karena cinta adalah anugerah Tuhan kepada hambaNya, begitu yang dikatakan oleh kahlil gibran dan beberapa musisi tentang cinta. Tapi mungkinkah cinta terhadap seseorang dengan cinta terhadap pekerjaan itu sama? Mungkin itu butuh pengkajian yang dalam untuk membedakan keduannya yang mungkin saja juga jalan maupun tujannya sama yakni kenyamanan dan kenikmatan.
Tapi tidak semua memang untuk menjadi pegawai kita mesti membayar dengan ongkos yang besar ada sih beberapa yang masih menerima pegawai negeri dengan “jalan murni” atau tanpa ongkos sedikitpun, entahlah hal ini merupakan komitmen instansi yang bersangkutan atau hanya karena pelamarnya kurang jadi siapa saja yang melamar untuk itu langsung saja diterima tidak dipandang apakah memiliki “ongkos” atau “pegangan” lainnya.
Dari beberapa pengamatan dan dengar-dengar dari beberapa pelaku ini, yang masih pakai metode pegangan ini kebanyakan berasal dari instansi daerah artinya bahwa instansi yang merupakan urusan daerah atau yang didesentralisasikan dan biasanya yang tidak penerimaannya masih cukup murni lah kecuali mungkin dalam beberapa instansi yang bergerak dalam pertahanan dan keamanan, tapi yang kita bicarakan sekarang adalah pegawai negeri sipil (PNS) untuk yang disebut diatas mungkin lain lagi. Saya kemudian berpikir ini mungkin yang dinamakan efek jeleknya otonomi daerah yang sering saya baca di beberapa literatur biasanya disebut munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang kemudian bertranformasi untuk mendirikan dinasti kekuasaannya di daerah dengan melakukan manuver “penyelamatan” keluarganya dari kenistaan pengangguran yang terjadi.
Masalah mengenai instansi yang terdesentralisasi tadi agar tidak mengambang yakni desentralisasi adalah penyerahan kewenangan ke daerah untuk melaksanakan urasan rumah tangganya sendiri berbeda dengan dekonsentrasi dimana ada semacam pelimpahan kewenangan ke pihak daerah namun masih dilakukan oleh perangkat pusat di daerah. Untuk instansi yang tak tedesentarlisasi sehingga masih bisa dibilang dalam penerimaan pegawainnya masih murni adalah pertahanan keamanan, agama, moneter, yustisi (pengadilan), hubungan luar negeri artinya perekrutan pegawainnya masih dilakukan oleh pusat.
Mahalnya menjadi seorang pegawai negeri memang bisa saja bukan hanya mengakibatkan adanya praktek KKN di daerah bahkan para pegawai yang terekrut tersebut akan bekerja “seadannya” saja mengingat ongkos yang dikeluarkannya untuk pekerjaannya tersebut cukup besar sehingga pelayanan terhadap masyarakat yang menjadi objek pelayanan dan pekerjaan yang dilakukannya tidak dapat berjalan dengan baik. Logikanya sederhana saja mana ada orang yang membayar mahal untuk menjadi “pelayan” rakyat. Karena itulah yang merupakan esensi dari pemerintahan yakni ada sebuah proses pelayanan terhadap warga negara siapapun dia dan dari status manapun dia harus dilayani sama di depan negara.
Pegawai negeri dengan ongkos yang besar ini mungkinkah akan mencintai peerjaannya sehingga dia bisa ikhlas melakukan tugas-tugasnya? Mungkin ini perlu dilihat lagi kan, mengingat pikiran orang, niatan orang itu berbeda-beda kan, tapi semoga saja mereka akan menjalankan tugas-tugasnya denga ikhlas. Tapi ketika saya menuliskan ini sebenarnya saya pun masih dalam sebuah dilema apakah ingin menjadi pegawai negeri seperti para mereka? Atau ada sebuah situasi lainnya yang bisa menjadi “prestasi” jika itu yang menjadi ukuran pekerjaan yang mengangkat derajat orang dalam masyarakat atau karena alasan finansial lainnya. Mungkin saja ketika nanti akhirnya saya pun menjadi pegawai negeri akan mengalami
Mungkin fenomena ini terjadi karena di kota-kota kecil seperti kampung halaman saya ini dan beberapa daerah di indonesia masih cukup menguntungkan untuk menjadi seorang pegawai negeri, karena mungkin tidak ada sebuah instansi lain yang dapat menampung lonjakan lulusan institusi pendidikan mulai dari lulusan sma hingga sarjana. Disamping itu mengingat pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil sebagian besar cukup “nyaman” dengan tidak perlu menguras tenaga yang banyak untuk itu tapi ada beberapa juga sih yang cukup memberikan perhatian energi kita yang banyak, hal lain dari seorang pegawai negeri adalah tunjangan ketika pensiun nanti yang membedakannya dengan pegawai swasta, kemudian stimulus lainnya mungkin dari pengamatan saya pakaian dinas pegawai negeri bisa menjadi sebuah kebanggaan tersendiri orang yang memakainnya apalagi untuk sebuah kota kecil seperti kampung halaman saya tercinta ini.
Cara memandang masyarakat pun terhadap orang-orang yang memakai pakaian dinas ini memang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang tidak memakai ini. Sebuah penghormatan yang lebih terhadap kelompok masyarakat yang mengenakan pakaian dinas ini, seperti misalnya dia akan diperlakukan “lebih” terhadap yang tidak memakai ini mungkin mereka dipandang sebagai orang yang pandai atau menjadi terhormat dengan pakainnya. Hal ini mungkin yang menjadikan sebuah “ongkos” untuk menjadi pegawai negeri ini yang cukup mahal.
Dalam suatu pengalaman berbincang dengan salah satu pegawai negeri di salah satu instansi mengenai penerimaan pegawai ini, saya malah ditawari sejumlah uang untuk kemudian katannya saya akan di”pegang” sehingga nantinya saya dapat diterima menjadi pegawai. Tapi saya kemudian sedikit tersenyum dengan pernyataan itu, masa untuk menjadi pegawai saja mesti ongkos ini dan itu belum lagi katanya mesti ada link-link dan sebagainnya. Selain itu besaran ongkos yang diminta untuk dapat di”pegang” tersebut tidaklah kecil mungkin untuk seorang pegawai golongan terendah akan menghabiskan 5-7 tahun gaji pokoknya. Wah….sempat juga sih terbisik untuk tidak usah jadi pegawai negeri kalau kayak begini, tapi untuk daerah sekaliber kampung saya ini jalan menjadi pegawai negeri adalah jalan yang bisa dianggap paling “menggiurkan” lah.
Saya pernah mendengar pernyataan, jika engkau ingin menikmati pekerjaanmu maka cintailah pekerjaanmu itu. Tapi untuk sebuah pekerjaan yang di peroleh dengan harga yang tidak sedikit seperti ini apakah cinta itu bisa terwujud?, cinta kan tak perlu berat di ongkos karena cinta adalah anugerah Tuhan kepada hambaNya, begitu yang dikatakan oleh kahlil gibran dan beberapa musisi tentang cinta. Tapi mungkinkah cinta terhadap seseorang dengan cinta terhadap pekerjaan itu sama? Mungkin itu butuh pengkajian yang dalam untuk membedakan keduannya yang mungkin saja juga jalan maupun tujannya sama yakni kenyamanan dan kenikmatan.
Tapi tidak semua memang untuk menjadi pegawai kita mesti membayar dengan ongkos yang besar ada sih beberapa yang masih menerima pegawai negeri dengan “jalan murni” atau tanpa ongkos sedikitpun, entahlah hal ini merupakan komitmen instansi yang bersangkutan atau hanya karena pelamarnya kurang jadi siapa saja yang melamar untuk itu langsung saja diterima tidak dipandang apakah memiliki “ongkos” atau “pegangan” lainnya.
Dari beberapa pengamatan dan dengar-dengar dari beberapa pelaku ini, yang masih pakai metode pegangan ini kebanyakan berasal dari instansi daerah artinya bahwa instansi yang merupakan urusan daerah atau yang didesentralisasikan dan biasanya yang tidak penerimaannya masih cukup murni lah kecuali mungkin dalam beberapa instansi yang bergerak dalam pertahanan dan keamanan, tapi yang kita bicarakan sekarang adalah pegawai negeri sipil (PNS) untuk yang disebut diatas mungkin lain lagi. Saya kemudian berpikir ini mungkin yang dinamakan efek jeleknya otonomi daerah yang sering saya baca di beberapa literatur biasanya disebut munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang kemudian bertranformasi untuk mendirikan dinasti kekuasaannya di daerah dengan melakukan manuver “penyelamatan” keluarganya dari kenistaan pengangguran yang terjadi.
Masalah mengenai instansi yang terdesentralisasi tadi agar tidak mengambang yakni desentralisasi adalah penyerahan kewenangan ke daerah untuk melaksanakan urasan rumah tangganya sendiri berbeda dengan dekonsentrasi dimana ada semacam pelimpahan kewenangan ke pihak daerah namun masih dilakukan oleh perangkat pusat di daerah. Untuk instansi yang tak tedesentarlisasi sehingga masih bisa dibilang dalam penerimaan pegawainnya masih murni adalah pertahanan keamanan, agama, moneter, yustisi (pengadilan), hubungan luar negeri artinya perekrutan pegawainnya masih dilakukan oleh pusat.
Mahalnya menjadi seorang pegawai negeri memang bisa saja bukan hanya mengakibatkan adanya praktek KKN di daerah bahkan para pegawai yang terekrut tersebut akan bekerja “seadannya” saja mengingat ongkos yang dikeluarkannya untuk pekerjaannya tersebut cukup besar sehingga pelayanan terhadap masyarakat yang menjadi objek pelayanan dan pekerjaan yang dilakukannya tidak dapat berjalan dengan baik. Logikanya sederhana saja mana ada orang yang membayar mahal untuk menjadi “pelayan” rakyat. Karena itulah yang merupakan esensi dari pemerintahan yakni ada sebuah proses pelayanan terhadap warga negara siapapun dia dan dari status manapun dia harus dilayani sama di depan negara.
Pegawai negeri dengan ongkos yang besar ini mungkinkah akan mencintai peerjaannya sehingga dia bisa ikhlas melakukan tugas-tugasnya? Mungkin ini perlu dilihat lagi kan, mengingat pikiran orang, niatan orang itu berbeda-beda kan, tapi semoga saja mereka akan menjalankan tugas-tugasnya denga ikhlas. Tapi ketika saya menuliskan ini sebenarnya saya pun masih dalam sebuah dilema apakah ingin menjadi pegawai negeri seperti para mereka? Atau ada sebuah situasi lainnya yang bisa menjadi “prestasi” jika itu yang menjadi ukuran pekerjaan yang mengangkat derajat orang dalam masyarakat atau karena alasan finansial lainnya. Mungkin saja ketika nanti akhirnya saya pun menjadi pegawai negeri akan mengalami
Komentar