Akhir-akhir ini berita baik dimedia masa maupun media elektronik banyak mengangkat berita mengenai bentrok. Di makassar bentro terjadi seperti biasanya perebutan lahan di sudut lain dinegeri ini juga terjadi perebutan lahan di medan, dan lagi-lagi berkenaan dengan para pengusaha, yang tentunya warga yang seringkali dirugikan dan akibatnya apa yang sering kita sebut sebagai bentrok terjadi antara warga dengan polisi yang akan mengadakan eksekusi secara paksa. Ada hal menarik disini kenapa? Entah sudah ada beberapa kasus perebutan lahan seperti ini seringkali terjadi di negeri ini dan tentunya yang akan memenangkannya adalah para pengusaha, seperti yang terjadi pada keluarga eks TNI yang terpaksa matia-matian mempertahankan rumah dan tanah (walaupun dinas) yang telah mereka tinggali selama puluhan tahun dan dipaksa untuk pindah tanpa kejelasan dimana pindahnya.
Ada juga bentrok jenis lain yang terjadi misalnya di flores, maluku tengah, maluku utara, hingga para pelajar dan mahasiswa yang bentrok dengan polisi maupun sesama mereka. Ada apa sebenarnya di negeri ini? Para masyarakatnya sebagian pada terlibat bentrok secara fisik dan para penguasanya terlibat saling membenarkan dirinya atas kekuasaannya. Hingga akhirnya kejadian di Kab. Bandung Jawa Barat yakni bencana longsor seperti menjadi hal biasa di negeri ini ketimbang debat ataupun kelakar dan berkelit para politisi bangsa ini atas status quo dimana dia bertengger sekarang.
Kembali pada pembahasan menganai bentrok tadi, kenapa misalnya ketika ada hal yang dituntut oleh masyarakat seringkali berujung bentrok, dan kita bisa melihat bagaimana ekspresi para warga yang seperti hendak membalaskan dendam yang sungguh sudah pada stdium lanjut hingga jalan diplomasi lagi tidak dapat dilakukan. Ataupun dari beberapa kasus akibat ketidak percayaan dari pemerintah dan akibatnya polisilah sebagai instrumen pemerintah menjadi sasaran para masyarakat untuk meluapkan “kejengkelan” mereka. Seperti yang terlihat pada pemberitaan di televisi pada saat bentrokan di makassar dimana kondisi masyarakatnya terlihat telah mempersiapkan hal ini, lihat saja bagaimana mereka menggunakan bom molotov untuk melawan barisan polisi pada waktu itu.
Berbeda misalnya dengan bentrokan pelajar atau tawuran yang terjadi di beberapa daerah yang mempertemukan dua sekolah dan biasanya SMA dan ada juga dari SMP ini terjadi di mamuju sulawesi barat. Ironis memang melihat ini para generasi bangsa yang semestinya memperkaya dirinya dengan ilmu dan etika sosial sehingga dapat membentuk karakter anak bangsa yang tangguh, hanya menjadi para pelaku tawurasianisme sesamanya. Jika terjadi hal seperti ini siapa yang mesti disalahkan apakah gurunya atau pelajarnya sendiri?
Disamping itu juga demonstrasi yang terjadi seringa kali menjadi instrumen utama dalam penggambaran bentorkan yang terjadi di negeri ini atas partisipasi yang dilakukan oleh warga negarannya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Francis Fukuyama “bahwa ketika partisipasi politik warga negara mulai membludak dan tidak dihadapi dengan kesiapan pemerintah untuk memfasilitasinya maka yang terjadi adalah ketidakstabilan politik” tentunya hal ini bisa saja menjerumuskan kita pada sebuah proses diintegrasi negeri kepulauan ini. Dan jika seperti ini terus trjadi maka itu mungkin saja tidak lama lagi.
(Baus.25/02/20)
Ada juga bentrok jenis lain yang terjadi misalnya di flores, maluku tengah, maluku utara, hingga para pelajar dan mahasiswa yang bentrok dengan polisi maupun sesama mereka. Ada apa sebenarnya di negeri ini? Para masyarakatnya sebagian pada terlibat bentrok secara fisik dan para penguasanya terlibat saling membenarkan dirinya atas kekuasaannya. Hingga akhirnya kejadian di Kab. Bandung Jawa Barat yakni bencana longsor seperti menjadi hal biasa di negeri ini ketimbang debat ataupun kelakar dan berkelit para politisi bangsa ini atas status quo dimana dia bertengger sekarang.
Kembali pada pembahasan menganai bentrok tadi, kenapa misalnya ketika ada hal yang dituntut oleh masyarakat seringkali berujung bentrok, dan kita bisa melihat bagaimana ekspresi para warga yang seperti hendak membalaskan dendam yang sungguh sudah pada stdium lanjut hingga jalan diplomasi lagi tidak dapat dilakukan. Ataupun dari beberapa kasus akibat ketidak percayaan dari pemerintah dan akibatnya polisilah sebagai instrumen pemerintah menjadi sasaran para masyarakat untuk meluapkan “kejengkelan” mereka. Seperti yang terlihat pada pemberitaan di televisi pada saat bentrokan di makassar dimana kondisi masyarakatnya terlihat telah mempersiapkan hal ini, lihat saja bagaimana mereka menggunakan bom molotov untuk melawan barisan polisi pada waktu itu.
Berbeda misalnya dengan bentrokan pelajar atau tawuran yang terjadi di beberapa daerah yang mempertemukan dua sekolah dan biasanya SMA dan ada juga dari SMP ini terjadi di mamuju sulawesi barat. Ironis memang melihat ini para generasi bangsa yang semestinya memperkaya dirinya dengan ilmu dan etika sosial sehingga dapat membentuk karakter anak bangsa yang tangguh, hanya menjadi para pelaku tawurasianisme sesamanya. Jika terjadi hal seperti ini siapa yang mesti disalahkan apakah gurunya atau pelajarnya sendiri?
Disamping itu juga demonstrasi yang terjadi seringa kali menjadi instrumen utama dalam penggambaran bentorkan yang terjadi di negeri ini atas partisipasi yang dilakukan oleh warga negarannya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Francis Fukuyama “bahwa ketika partisipasi politik warga negara mulai membludak dan tidak dihadapi dengan kesiapan pemerintah untuk memfasilitasinya maka yang terjadi adalah ketidakstabilan politik” tentunya hal ini bisa saja menjerumuskan kita pada sebuah proses diintegrasi negeri kepulauan ini. Dan jika seperti ini terus trjadi maka itu mungkin saja tidak lama lagi.
(Baus.25/02/20)
Komentar