Langsung ke konten utama

Cerita PKM; Pikiran yang sederhana tapi bukan warung sederhana.



Sembari mengulurkan kedua tangan, seraya menggoyang-goyangkan sepuluh jemarinya. Kepala Desa menyampaikan permintaanya, "bapak dosen ajar katong bagini-bagini".


Dengan ekspresi tangan seperti itu, kami menganggap kalau kepala desa mau belajar main orgen. Ternyata ini isyarat buat kemampuan mengoperasikan komputer. Kepala desa ingin kami melatihnya dan perangkat desanya menggunakan  komputer.

Walahhhh...

Tapi koja-koja soal isyarat begitu, kini banyak berlalu lalang di media sosial kelakuan netizen mengupload ilmu-ilmu yang menurut saya menunjukkan sempitnya jalan pemberdayaan literasi bangsa ini. Hehehe...berat ee...

Apa saja? Nahh...ada yang coba mencocokkan satu simbol dengan simbol lain, tujuannya buat menunjukkan kalau simbol ini sama saja. Ada juga kata-kata yang coba diterjemahkan sebagai bahasa kuno dengan arti "aku yahudi".

Lalu ada lagi, karena itungannya kurang satu angka maka dianggap takut sama angka itu. Padahal anak-anak yang kalau malam hari lewat tempat gelap, teriak-teriak "setan-setan" itu menunjukkan dia berani sama setan? Tidakkk, mereka takut makanya disebut-sebut. Lhoo..

Terus maksud tulisan ini apa? Yahh...itu tadi, coba mencoba mensimplifikasi sesuatu yang memang tidak simpel itu menunjukkan ketidakcermatan yang hakiki menurut saya. Pola pikirnya seolah-olah intelektual, tapi nampak buat mual.

Pikiran ringkas ini juga punya model lain di medsos saat ini, tulis surat buat seseorang lalu di publis ke facebook, tulis doa, tulis updaten kegiatan sore itu? Lhaaaa......Sejak kapan facebook bisa ngantar surat?, bisa jdi perantara doa?...

Waduhh...atau mungkin si dia hanya ingin diliat banyak orang, lalu di like dan dikoment "luarbiasa, mantap, keren" udah itu ada, puaslah ia dengan itu. Tuhh lan, pikirannya semakin sempit...?...

Ahhh...kembali ke desa tadi, cara menjelaskan mau belajar komputer dengan isyarat tangan seperti main orgen itu. Menandakan bahwa pengetahuan tentang itu masih minim buat mereka, dan bukan berarti sempit pikir.

Kenapa? Di jaman now yang digadang-gadang dengan sebutan era four.point.oh itu. Ditandai dengan cepatnya informasi, namun lambannya respon otak menganalisis. Nah itu dia sebab sempit pikir tadi...hihi..

Ahhh...saya jdi kembali merindukan desa, yang jaringan minim tapi kebahagiaan melimpah ruah. Apalagi bertetangga dengan posko mahasiswa calon bidan itu, teh tanpa gula tetap berasa manis jika minumnya sambil modus.

Ahhh....

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

Catatan Cucu Nonton Debat

Selain banyak hal yang coba diterka secara tajam oleh netizen. Tak begitu banyak gesture, gimmick hingga konten debat yang bisa saya analisa seperti lihainya pada netizen sekalian. Hanya saja, ada hal menarik yang saya sangat suka dengan situasi semalam. Bikin adem dan suasanya yang semula panas menjadi begitu menyejukkan, hingga akhirnya ditutup dengan lagu dari si Bintang RRI itu.

MAS LAUDE

Hari itu habis hujan, masih sedikit gerimis. Jalan masih begitu basah, kelokan jalan poros baubau-pasarwajo saat itu cukup licin. Saya berhati-hati memacu motor, untuk pulang dari mengajar di pasarwajo menuju Baubau. Pelan berjalan, saya melihat motor yang begitu familiar. Merah hitam, khas motor punya mas laude (panggilan saya pada Mustama Tamar Goqill). Tidak jauh, tepat di warung-warung tepi jalan, ia muncul sambil tersenyum.