Langsung ke konten utama

Cerita PKM: Bilingual



Hari itu sudah sore, udara cukup lembab sisa hujan semalam. Suasana desa mulya jaya kecamatan lasalimu selatan cukup lenggang, bukan apa-apa? Karena memang jumlah populasi desa ini tidak begitu banyak.


Dari penuturan warga yang tinggal, separoh lebih masyarakat desa ini telah kembali ke pulau ambon. Desa ini memang dulunya adalah tempat dimana pengungsi kerusuhan ambon, diberikan rumah dan sebidang tanah dari pemerintah. Wajar saja jika warganya ada yang memilih kembali disaat kini suasana sudah kondusif.

Kala itu saya bersama beberapa mahasiswa sedang melakukan observasi sekaligus pengambilan data, kami berhenti di jejeran penjual gorengan. Para Ibu-Ibu sedang menjajakan berbagai macam gorengan, saya tahu gorengan, karena saat memakan satu biji minyaknya serupa bisa buat cuci tangan...hehe.

Dari kejauhan terdengar suara motor, pengendaranya anak muda sekitar 18.an tahun. Ia membonceng seorang ibu yang dipangkuannya ada kotak jualan, berisi gorengan. Ibu itu tersenyum...

"Waduh, Ibu seng bisa kalo bagitu. Biar beta jualan keliling saja", kata-kata ini terucap namun sedikit aneh.

Setahu saya, ini bahasa ambon. Namun gaya bicara ibu itu, dengan eksen atau dialek jawa. Cobalah dibayangkan!.

Bagi kami, pendatang yang hanya beberapa hari. Ini cukup aneh, bagaimana bisa bahasa ambon, tercampur dalam dialek medok jawa.

Tapi itulah desa mulya jaya, pembauran etnis dan interaksi sehari-hari mengubah bahasa ibu tadi menjadi bahasa ambon, namun tetap dengan medok jawanya.

Dalam ilmu lingustik atau ilmu bahasa begitu kira-kira, disebut sebagai "code switching" dalam penggunaan bahasa. Hal ini terjadi oleh karena, adanya keadaan yang membuat seseorang mengganti bahasa atau ragam bahasanya dengan alasan karena mudahnya menggunakan bahasa itu. Atas dasar itulah terjadi perubahan medok jawa dalam dialek, namun tetap bahasa ambon dalam kata-kata.

Nah, untuk ikut "menjadi" warga tentu kami mencoba menggunakan bahasa ini sebisanya. Tidak dengan medok jawanya tentunya, hanya pake bahasa ambon yang dicoba dalam dialek yang semirip mungkin.

Lalu apa hasilnya?, kami jadi lebih akrab sama masyarakat. Besoknya, saya jadi lebih mudah pinjam kamar mandi buat mandi, karena posko kami hanya punya satu kamar mandi untuk 50.an orang.

Bahkan ketika akan pulang kembali ke baubau, sekarung kedondong dapat diboyong pulang hanya karena coba-coba tanya sama om kumis.

"Om kumis, kelor adakah? Beta minta dolo, buat mahasiswa masak supaya seng mabok di bus sebentar"

Eehh...bukannya kelor didapat, tapi kedondong sekarung buat makan dijalan katanya.

Untungnya saya tidak minta ember, kalau tidak mungkin saya dikasih tanah sehektar juga di pertemukan sama kembang desa setempat. Untung saja ya...

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

Catatan Cucu Nonton Debat

Selain banyak hal yang coba diterka secara tajam oleh netizen. Tak begitu banyak gesture, gimmick hingga konten debat yang bisa saya analisa seperti lihainya pada netizen sekalian. Hanya saja, ada hal menarik yang saya sangat suka dengan situasi semalam. Bikin adem dan suasanya yang semula panas menjadi begitu menyejukkan, hingga akhirnya ditutup dengan lagu dari si Bintang RRI itu.

MAS LAUDE

Hari itu habis hujan, masih sedikit gerimis. Jalan masih begitu basah, kelokan jalan poros baubau-pasarwajo saat itu cukup licin. Saya berhati-hati memacu motor, untuk pulang dari mengajar di pasarwajo menuju Baubau. Pelan berjalan, saya melihat motor yang begitu familiar. Merah hitam, khas motor punya mas laude (panggilan saya pada Mustama Tamar Goqill). Tidak jauh, tepat di warung-warung tepi jalan, ia muncul sambil tersenyum.