Langsung ke konten utama

Ketika Praktek Terbentur Teori (Celoteh Galau mahasiswa dengan Tugas Akhirnya)

Semalam, sehabis olahraga sore dan makan malam bersama; saya, pak aga dan hendra akhirnya nongkrong dikontrakan pak aga belakang Kampus ISI Surakarta. Ada yang berbeda disini, karena biasanya kami berempat dengan si Lewi namun dia belum pulang dari kampung halamannya.

Kebetulan kontrakan rumah pak aga ini, bagian belakangnya dikontrak oleh mahasiswa ISI Surakarta. Tentunya karena mereka dari sekolah seni tentunya banyak menghasilkan karya berupa lukisan, patung, pahatan dan macam-macam. Nah, malam itu kebetulan mereka sedang berbenah dihalaman depan kontrakan yang cukup luas, katanya buat melakukan pameran karya mereka. Pameran ini bisa jadi pertama dan awal mula Insya Allah di Solo karena pameran seperti ini di jogja lebih familiar, semoga bisa jadi trendsetter lah kata mas Sigit (salah satu mahasiswa ISI Surakarta).

Menariknya dari mereka adalah ketika bekerja menata halaman, sekalipun jumlah mereka sedikit namun tahu mana yang akan mereka kerjakan masing-masing. Maka, saya bilang sama pak aga dan hendra kalau asyik bekerja dengan anak seni ini, mereka lebih banyak bekerja ketimbang berteori atau memberi gagasan. Bagi mereka anak seni ini (sepanjang yang pernah saya alami bersama teman), bagi mereka berkreasi saja dulu tanpa teori yang muluk-muluk nanti kesalahan yang disebutkan teori akan diperbaiki sejalan dengan praktek yang dilakukan.

Ternyata pak aga setuju dengan hal ini, maklum basic dia waktu masih muda adalah anak band di Timor-Timur (sekarang Timor Leste). Akhirnya amatan ini menjadi diskusi bagi kami malam itu, sambil membantu mereka menata halaman. Tentu ini berbeda dengan apa yang kami dapat di kuliah kami yang lebih banyak berbicara dengan teori dan teori, sehingga kadang kami bingung sebenarnya teori dulu atau praktek, karena terkadang temuan paktis dilapangan tidak bisa dijawab dengan teori atau kadang sebagai bentuk agar terlihat ilmiah akan dipakai sebuah teori untuk menganalisanya, namun sebagus apapun teori menurut saya eksekusi dalam bentuk praktek akan lebih menunjukkan hal itu bermanfaat atau tidak.

Maka, saat itu terpikir oleh kami yang sedang galau dengan proses penyempurnaan kuliah magister dengan yang namanya tesis. Mungkin ketika kebingungan ini ada, dikarenakan sebuah teori itu ternyata belum bisa menjawab masalah dalam ranah praksis. Makanya kemudian kenapa ketika ingin menyusun tesis yang dimulai dari proposal, membuat kami sulit menemu titik temu antara masalah praktis dilapangan dan teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis. Kata hendra, kalau di dalam ilmu eksak mungkin mereka lebih mudah karena yang diteliti dan teorinya akan saling mendukung, dan ini berbeda dengan kajian ilmu sosial yang cenderung dinamis.

Kemudian saya berpikir, inilah kelemahan kita berteori banyak dengan miskin praktek. Contohnya saja tentang evaluasi kebijakan misalnya (dengan tidak bermaksud mengurangi esensi utama teori dalam ilmu pengetahuan), ada banyak ahli yang kemudian mengemukakan model evaluasi kebijakan. Mulai dari yang model inkremental, rasional, menurut Dunn, Riant Nugroho yang juga terkadang bisa saling melengkapi analisisnya namun kadang juga saling melemahkan satu sama lain, yang pada akhirnya para ahli ini saling menambahkan komponen lain dalam pisau analisa mereka. Tapi pertanyaanya, apakah kondisi yang berbeda dengan saat ini terjadi disuatu daerah akan sama dengan kondisi dalam teori yang digambarkan para ahli tersebut? bisa jadi berbeda perlakuan dan kondisional wilayahnya kan?.

Namun ini membuka khasanah baru bahwa inilah yang disebut generalisasi dalam ilmu pengetahuan, bahwa sebuah teori ilmu pengetahuan dapat digeneralisasi pada setiap kondisi masalah disetiap wilayah, tinggal bagaimana kecermatan seorang peneliti dalam mengungkap setiap hal yang mungkin tidak dimiliki oleh teori untuk menganalisanya namun hal itu terjadi dilapangan.

Pertanyaan mendasar kemudian adalah subjektivitas sebuah teori oleh para ahlinya masing-masing, sekalipun bahwa sebuah teori haruslah objektif dan ketika teori itu dipakai banyak pihak berarti keobjektivannya terjamin untuk digunakan sebagai upaya generalisasi kondisi yang ada. hanya saja apa yang tidak bisa terlepas dari subjektivitas sih? Bahkan ketika seorang ahli mengklaim bahwa temuannya adalah objektif maka itu adalah bagian dari subjektivitas dia terhadap teorinya sendiri bukan?.

Bahkan ketika saya menuliskan ini, apakah ini bagian dari teori yang saya pahami tentang sebuah ranah praktis dimasyarakat atau ini bagian dari praktek dalam sebuah pengetahuan. Entahlah, ketika kami menyimpulkan sesuatu malam itu bahwa sebaik apapun teori maka sudah selayaknya dimulai dari sebuh praktek. Dalam perkuliahan sudah semestinya diperbanyak menganlisis sesuatu dimulai dari sebuah praktek yang kemudian akan dipertemukan dengan teori yang ada, bukan sebaliknya teori dahulu yang kemudian dicarikan praktek yang ada dilapangan ini akan sangat menyulitkan, dan ini pandangan subjektivitas saya.

Namun apapun itu, ketika saya atau kami hanya kemudian larut mencari pembenaran kondisi kami saat ini yang bisa jadi hanya karena kemalasan untuk berbuat terhadap tesis kami, dengan mencari-cari kesalahan yang terjadi dahulu. Maka, proses perubahan akan senantiasa berjalan ditempat. Bukankah memperbaiki sesuatu itu dengan melakukan sesuatu secara bersamaan dengan hikmah yang ada dari kesalahan yang lalu lebih bijak?, bukannya hanya menghabiskan waktu mencari-cari kesalahan yang lalu itu apa saja.

Sudahlah, sekarang saatnya berpraktek seperti analisa awal kita diawal, persoalan teori akan mengikut ketika kita sudah memulai menuliskan berbagai praktek menarik yang akan kita teliti sebagai tugas akhir. Supaya tulisan ini tidak menjadi teori baru dalam menganalisa kesalahan berpikir jamak kita, perlu saya akhiri pada posisi ini dan mulai melirik barisan paragraf proposal tesis saya. Pelajaran hari ini adalah perbaiki kesalahan dengan terus melakukan sesuatu untuk membetulkan hal itu, bukan dengan hanya mengutuk diri.

Surakarta, 16/09/2013

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **

Perempuan Yang Menolak Kalah

Lokasi Foto: Pelabuhan Feri Mawasangka, Buton Tengah Seringkali orang-orang hebat itu, bukan berasal dari kilaunya lampu kamera, ramainya kemunculannya pada televisi atau riuhnya sorak sorai orang-orang saat ia muncul. Tapi, kadang kala orang-orang hebat itu berada di tempat yang sunyi, jarang dilewati kebanyakan orang bahkan pada tempat yang seringkali tidak sadari. Mereka terus bergerak, memberi nilai, merubah keadaan dan mencipta keajaiban kecil bagi lingkungannya. Pada beberapa bulan lalu saya berkunjung ke panti asuhan yang sekaligus pesantren Al Ikhlas, Kaisabu. Seperti biasa, turun dari kendaraan saya bertanya pada salah seorang anak disitu. Ustad mana? Ia jawab, di dalam ada ummi. Lalu saya masuk, bertemu ummi. Pertanyaan pertama setelah mengenalkan diri, saya tanya "ummi, ustad mana?". Beliau terpaku sebentar, lalu tersenyum kemudian menjawab "ustad sudah tidak ada". Ada titik bening disudut mata beliau. Saya kembali bertanya,"maksudnya ummi?". ...