Langsung ke konten utama

Penghapusan Sistem Outsorching

"Sebuah tinjauan sederhana"
(diambil dari referensi tugas mata kuliah Isu dan Formulasi Kebijakan Publik
Magister Administrasi Publik, Universitas Sebelas Maret.)




1. Pendahuluan

Beberapa waktu lalu, terjadi demo pekerja/buruh dengan melakukan mogok kerja, dimana mereka menuntut penghapusan sistem outsorching di Indonesia. Masalah pekerja di Indonesia saat ini sedang menjadi topik pembicaraan hangat, media massa cetak maupun elektronik seringkali mengangkat tema mengenai keadaan pekerja Indonesia. Hal ini terkait dengan kebijakan mengenai kesejahteraan pekerja di Indonesia, disamping itu adanya masalah kebijakan seputar pekerja. memang masalah pekerja ini sangat sensitif kalangan pekerja terutama buruh, disamping sebagai sebuah kebijakan menyangkut kesejahteraan pekerja, namun juga sebagai masalah banyaknya jumlah pengangguran terbuka. Sekarang lagi hangat pemberitaan mengenai upaya tuntutan buruh Indonesia dalam penghapusan sistem outsorching, dimana dirasa sebagai sebuah ketidakadilan pekerja, selain itu penentuan upah minimum karyawan (UMK) yang dinilai masih sangat rendah.


Namun dalam paper ini kemudian akan mencoba melihat masalah mengenai pekerja di Indonesia, yang kemudian difokuskan pada masalah penghapusan sistem outsorching yang banyak terjadi di perusahaan swasta maupun BUMN di Indonesia. Untuk melihat masalah ini sebagai sebuah agenda pemecahan masalah atau pengambilan kebijakan, maka akan dilakukan pemetaan menganai masalah ini. Kemudian mencari upaya solutif dalam menjembatani masalah ini. Sebelum itu, akan dibahas dahulu pengertian serta tujuan dari sistem outsorching yang ada di Indonesia saat ini.
Outsourcing dalam sistem hubungan kerja masih menimbulkan sejumlah persoalan. Persoalan ini tidak hanya dari kalangan pekerja/buruh yang memang sejak awal sudah menentang legalisasi outsourcing ini, persoalan juga dirasakan oleh kalangan pelaku usaha/pengusaha karena sejumlah peraturan yang ada belum sepenuhnya tuntas bahkan terkesan kabur dan tidak jelas serta menimbulkan ketidakpastian hukum.
Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kreteria yang telah disepakati oleh para pihak (Tunggal, 2009:308). Dalam penyediaan pekerja outsorching ini melibatkan pekerja/buruh outsorching, perusahaan penyedia pekerja dan perusahaan penyedian kerja. Namun seringkali kondisinya lebih melemah pada posisi para pekerja karena adanya ketiktetapan status pekerjaan mereka.
Secara yuridis (legal) pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perjanjian Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagai Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain. Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan biasa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing.
Intinya Outsorching adalah adanya pelimpahan kewenangan pada pihak ketiga untuk menyediakan pekerja untuk bidang-bidang kerja tertentu, yaitu kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja (transportation).
Berbagai pihak menilai sistem outsorching (alih daya) ini, tidak dapat memberikan keberdayaan dan kesejahteraan kepada pekerja atau buruh kita. Sehingga serangkaian protes mewarnai pelaksanaan sistem ini mulai dari mogok kerja hingga tuntutan di Mahkamah Agung (MA) untuk mengadakan revisi terhadap UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Namun tetap saja masih ada pelanggaran yang dilakukan terhadap pelaksanaan sistem ini, sehingga kemarin (3/10) terjadi mogok buruh untuk kembali menuntut penghapusan sistem outsorching ini dan melakukan revisi UU ketenagakerjaan.

2. Pemetaan Masalah

Masalah mengenai pelaksanaan outsorching , masih terus menjadi isu yang terjadi seputar ketenagakerjaan di Indonesia. Pangaturan pelaksanaanya diatur melalui UU No 13 Tahun 2003, namun seringkali perbedaan tafsiran maupun pelanggaran dalam implementasinya seringkali terjadi. Maka yang menjadi korban disini adalah para pekerja atau buruh, maka untuk itu banyak kalangan yang menuntut untuk diadakan revisi terhadap UU ketenagakerjaan yang kemudian diorientasikan lebih kepada upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.
Untuk lebih terarah dalam menentukan pemecahan apa yang kemudian dapat dilakuakn dalam melihat isu penghapusan sistem outsorching ini ataupun upaya melakukan revisi terhadap UU No 13 Tahun 2003, maka perlu dilakukan pemetaan terhadap beberapa penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan sistem outsorching dengan kaitannya terhadap keberadaan UU ketenagakerjaan tersebut. Dalam tulisan ini kemudian akan menjabarkan beberapa masalah yang ditimbulkan, melalui studi beberapa literatur terkait hal ini dan tentunya pemberitaan yang ada. Adapun masalah yang timbul dari adanya sistem outsorching ini adalah :

a. Penempatan Pekerja,
Dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikenal tiga model hubungan kerja yaitu hubungan kerja permanen, hubungan kerja menurut jangka waktu tertentu (kontrak) dan hubungan kerja penempatan (outsourching). dalam pembagian kerjanya, sistem outsorching hanya sebatas lima jenis pekerjaan yakni cleaning service, keamanan, transportasi, catering, dan jasa penunjang migas pertambangan.
Dalam pasal 56 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa Perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Membaca Pasal ini saja akan menimbulkan penafsiran bahwa ada kebebasan para pihak untuk membuat perjanjian kerja apakah berupa PKWTT atau PKWT, padahal sesungguhnya tidaklah demikian oleh karena dalam pasal-pasal berikutnya dapat ditemukan bahwa ternyata ada kondisi dan syarat yang ditentukan agar suatu hubungan kerja dapat dilakukan secara permanen maupun berjangka waktu (Agusmidah, 2007).
Dari hubungan kerja tersebut timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.
Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut (R.Djokopranoto,2005; 5)
Kesalahan dalam menafsirkan hal ini kemudian menjadikan posisi pekerja/buruh outsourching yang dirugikan. Penempatan pekerjaan mereka yang tidak jelas inipun banyak terjadi didaerah, dan ini menjadi tututan untuk setiap bupati/walikota untuk kembali memverivikasi penempatan pekerja outsorching di daerahnya. Namun masalah pekerja merupakan masalah sosial untuk itu, banyak kalangan yang mamandang perlu adanya revisi UU ketenagakerjaan yang ada saat ini.

b. Kesejahteraan,

Kesejahteraan yang bisa diterima pekerja/buruh outsorching dinilai masih rendah, saat ini Upah Minimum Karyawan (UMK) dalam bahasan untuk tahun 2013 Rp. 1.844.000 angka ini masih dibawah angka 2 juta (tribunnews.com; 03/10/2012). Dan hal ini bisa jadi berbeda-beda dalam kebijakan ditingkat provinsi. Padahal dalam sistem kerja outsorching, para pekerja/ buruh outsorching masih mendapat potongan dari perusahaan penyedia outsorching tersebut. Buruh hanya mendapatkan upah pokok sebesar upah minimum setempat tanpa tunjangan lain, sementara outsourced mendapat untung karena potongan pendapatan buruh (Arif Puyono; 2012).
Dalam Pasal 66 UU/30/2003 ayat c menyatakan, Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan harus memenuhi perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Dengan begitu karyawan memang bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Untuk itu yang berkaitan dengan kesejahteraan pekerja/buruh merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Pasal ini dinilai diskriminatif, dimana perusahaan penyedia pekerjaan seakan diberikan keleluasaan untuk “lepas tangan” mengenai pemenuhan kesejahteraan pekerja/buruh. Disamping itu juga perusahaan penyedia pekerjaan tidak bertanggungjawab terhadap tunjangan pensiun serta jaminan sosial para pekerja/buruh outsorching. Maka untuk itu, dalam tuntutan revisi UU 13/2003 pasal ini adalah salah satu yang diminta untuk dilakukan revisi. Adanya sistem kontrak dan outsourcing ini membuat posisi tawar pekerja atau buruh semakin lemah karena tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, pesangon jika di PHK, dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan lain.
Tuntuntan mengenai kesejahteraan ini diungkapkan oleh Partai Gerindra dalam Tribunnews.com yang beranggapan bahwa sistem kerja outsourching adalah sistem yang tidak manusiawi dan tidak sejalan dengan pancasila yang mengedepankan kemanusiaan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia dalam hal ini kaum buruh. Sebab sistem kerja kontrak tidak memberikan kepastian jaminan kerja bagi para buruh serta kaum buruh tidak dapat berkembang dalam kariernya (Tribunnews.com, 03/10/2012)
Untuk itu desakan untuk pemerintah agar bertindak adil terhadap kaum buruh dengan melakukan pengawasan ketenagakerjaan yang ketat agar upah buruh tidak seenaknya saja dibayar murah oleh para pengusaha. Dan tentunya untuk segera merevisi UU Ketenagakerjaan dengan mengapus pasal sistem kerja kontrak agar kepastian kerja dan kesejahteraan bagi buruh dapat lebih terjamin.

c. Perlindungan

Selain masalah kesejahteraan yang dituntut oleh para pekerja/buruh outsourching adalah perlindungan terhadap hal-hak mereka. Dalam hal ini, pekerja/buruh outsorching adalah pegawai tidak tetap namun seringkali dibebani tugas yang sama atau lebih berat dari pekerja tetap. Ikatan yang adapun, hanya sebatas ikatan kontrak yang biasanya hanya sekitar 1-6 bulan saja, serta bisa kapan saja dicabut oleh perusahaan penyedia kerja.
Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Tuntutan untuk memberikan perlindungan yang pasti bagi para pekerja/buruh outsourching ini telah dilakukan sejak lama, hal ini dengan diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pekerja alih daya berhak mendapat perlindungan kerja sesuai dengan Pasal 65 Ayat (4) dan Pasal 66 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian, baik perusahaan asal pekerja alih daya maupun perusahaan yang mengalihkan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga wajib melindungi pekerja tanpa memperhatikan status pekerja tersebut.
Tetapi sejak adanya putusan MK tentang outsourcing masih banyak pemberi kerja atau perusahaan yang masih memberlakukan sistim Perjanjian Kerja Paruh Waktu (PKWT) yang banyak merugikan kaum pekerja/buruh, dimana masih banyak buruh yang bekerja dengan sistim outsourcing tidak mendapatkan fair benefits and welfare (Arif Puyono: 2012).
Dengan adanya pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa, serta banyaknya buruh outsourcing tidak dibayarkannya uang pesangon jika di PHK atau habis masa kerjanya. Serta masih banyaknya perusahaan melakukan eksploitasi terhadap pekerja atau buruh yang hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis dan tidak memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja atau buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan masih banyaknya peerusahanan yang melanggar hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing bukti bahwa buruknya pengawasan ketenagakerjaan
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja/buruh, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (Wirawan, 2007).
Mencermati hal ini, dapat dilihat bahwa yang terikat kontrak adalah perusahaan penyedia (outsource) dan perusahaan penyedia pekerja dan tidak terhadap pekerja dan perusahaan. Namun disisi lain pekerja/buruh outsource harus menjalankan tugas dan peraturan sesuai dengan yang dilakukan di perusahaan penyedia pekerjaan, dalam hal ini menjadi tidak jelas dalam pelaksanaan aturan yang ada. Dimana dianggap bahwa kurangnya sosialisasi maupun pengawasan oleh outsource terhadap para pekerja/ buruh, hal ini menjadikan ketidakjelasan terhadap posisi pelaksanaan yang aturan yang mesti dilakukan oleh pekerja/buruh outsourching.
Berdasarkan ketidakjelasan yang terjadi tersebut, mestinya masalah mengenai pekerja/buruh outsourching dicarikan jalan keluar yang efektif agar pekerja dapat lebih berdaya. Tuntutan terhadap revisi UU ketenagakerjaan dan penghapusan pelaksanaan sistem kontrak/ outsourching, menjadi agenda publik yang semestinya dicarikan jalan keluar yang baik. Untuk itu dalam tulisan ini, berdasarkan perspektif yang telah dijabarkan secara ringkas diatas.


3. Alternatif Pemecahan Masalah (Rekomendasi)

Dewasa ini sistem outsourching menjadi tren dan pilihan utama dalam dunia usaha maupun industri besar. Pengaturan jenis pekerjaan yang memberlakukan sistem inipun sudah diklasifikasikan oleh pemerintah, namun tetap saja serangkaiang pelanggaran masih tetap terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan oleh pemerintah dan tentunya perusahaan penyedia kerja yang ingin menekan pembiayaan pekerja seefisien mungkin.
Pengangguran terbuka yang cukup besar di Indonesia, mengakibatkan hal ini terus berjalan. Sehingga setiap orang menginginkan pekerjaan apa saja walaupun itu berbeda dengan keahlian yang dimilikinya, disamping itu keinginan untuk memiliki pekerjaan tersebut tidak mengindahkan kondisi pekerjaan seperti apa dan bagaimana yang penting adalah mendapatkan peerjaan. Untuk itu peran pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan terhadap berjalannya proses ini dapat dilakukan, disamping untuk memberikan perlindungan pekerja/ buruh namun juga untuk memberikan kepastian investasi bagi pembangunan.
Adapun alternatif pemecahan masalah (rekomendasi) yang timbul dari penafsiran masalah diatas adalah :
1. Pengawasan terhadap pelaksanaan sistem kerja kontrak atau outsourching baik melalui pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, terhadap perusahaan penyedia (outsource) dan perusahaan penyedia kerja. Hal ini bisa dengan membentuk sebuah lembaga pengawas untuk urusan pekerja/buruh outsourching.
2. Penghapusan sistem outsourching dari sistem ketenagakerjaan di Indonesia, karena hal ini tidak sejalan dengan ideologi pancasila yang menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Namun tentnya hal ini diikuti dengan usaha-usaha integratif pemerintah untuk memberikan lapangan kerja yang kompeten bagi masyarakat, serta membangun iklim usaha yang kompetiitif dan sehat bagi seluruh pihak, sehingga masyarakat dapat terlibat aktif dalam dunia usaha yang ada.
3. Revisi UU ketenagakerjaan (UU No 13 tahun 2003) terutama terhadap sejumlah pasal yang dianggap kurang , dimana kemudian lebih menekankan pada upaya memberikan kejelasan status penempatan pekerja/buruh outsourching, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan terhadap pekerja.
4. Integrasi kebijakan, dimaksudkan pada upaya perlindungan pekerja/buruh Indonesia yang dilakukan secara integratif antara pihak pemerintah, LSM, NGO dan stakeholder terkait. Dengan melakukan pemberdayaan (empowerment) dan advokasi, dimana pekerja/buruh dibekali dengan keterampilan tertentu dengan begitu status penempatan dapat lebih terstruktur dan terkontrol dengan baik, disamping itu juga dapa memberikan nilai tambah bagi pekerja/buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya.

4. Kesimpulan

Masalah mengenai pekerja masih menjadi isu pokok dalam dunia usaha di Indonesia, namun tentunya pekerja dalam hal ini bersifat umum. Dalam hal masalah pekerja/buruh outsourching pun mendapat perhatian khusus tingkat nasional. Pembahasan mengenai masalah pelaksanaan sistem outsorching masih menyisakan banyak masalah di Indonesia. Dengan mengacu pada hal tersebut, dalam bahasan ini diberikan alternatif pemecahan masalah (rekomendasi) yang tentunya tidak bersifat final, yaitu : Pengawasan, Penghapusan Sistem Outsourching, atau Revisi UU Ketenagakerjaan serta Integrasi Kebijakan.

Daftar Literatur:

1. Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta,2009, hlm 308.
2. R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5.
3. Bima Setiyadi, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/12/19094619/Buruh.Tagih.Janji.
Revisi.Undang-Undang.Outsourcing.
4. http://www.tribunnews.com/2012/10/03/gerinda-sistem-outsourcing-tidak-sejalan-dengan-pancasila
5. Arief Puyono , http://www.rmol.co/read/2012/10/03/80287/Inilah-Alasan-Logis-Sistem-Kerja-Outsourcing-Harus-Dihapus
6. Juanda Pangaribuan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4b372fe9227/legalitas-ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-
7. Rista Rama Dhany ,http://finance.detik.com/read/2012/10/03/152824/2053745/4/lembaga-asing-minta-pemerintah-sby-tak-hapus-sistem-outsourcing
8. Bayu Marhaenjati/ Ayyi Achmad Hidayah, http://www.beritasatu.com/ekonomi/75480-pemerintah-tidak-mungkin-mencabut-sistem-outsourcing.html
9. Rochmad Fitriana , http://www.bisnis.com/articles/sistem-outsourcing-lks-tripartit-nasional-izinkan-pemborongan-pekerjaan-dialih-dayakan
10. Theresia Felisiani , http://www.tribunnews.com/2012/10/03/survey-disnakertrans-ump-2013-masih-di-angka-1.844.000
11. Agusmidah, Outsourcing dan PKWT Dalam Sistem Hubungan Kerja Merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan,Outsourching dan PKWT (pdf.file), 2007


Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.