Langsung ke konten utama

Bertemu Dilan dalam kampanye pilpres


Jika bioskop-bioskop kini tengah sesak sama penonton, yang ingin menikmati serial kedua novel pidi baiq Dilan 1991 itu. Setidaknya, hal serupa juga bisa kita temui di bioskop media sosial perihal kampanye pilpres.

Apa nyambungnya sih antara Dilan dan kampanye pilpres?. Nah, baca aja dulu postingan ini...heheh...


Pertama-tama, mestinya kita sangat sangat berterimakasih pada kontestasi pilpres kali ini. Dengan itu, kita disuguhkan banyak informasi ini dan itu.

Tapi ada info yang begitu menarik bagi kita, dengan pilpres kita mengetahui bahwa negara ini punya banyak orang pintar ehhh...tepatnya orang yang pintarnya banyak.

Maksudnya begini, jika era revolusi industri 4.0 bagi dunia, ditunjukkan dengan setiap orang mesti memiliki kompetensi spesifik dalam kompetisi masa depan. Dimana, dalam satu orang terdapat satu kemampuan yang unggul dan bisa diaplikasikan.

Namun ini berbeda dengan negeri kita, yaaa...saat kampanye pilpres macam hari ini bisa kita lihat. Satu orang bisa punya banyak kepintaran yang jika dibuat serialnya, JK Rowling sekalipun masih mikir buat tulis novelnya.

Bagaimana tidak?, lewat dukung mendunkung paslon pilpres nanti. Kita melihat banyak sekali orang-orang dengan kemampuan poliponik lah kita sebut

Pagi hari ia bisa sangat ahli dalam bidang ekonomi bahas utang, agak siang ia sangat ahli bidang kebijakan publik, siangnya ia ahli dalam bidang infrastruktur, sorenya ia begitu ahli dalam linguistik atau tata bahasa, malamnya ia begitu ahli pula dalam ilmu tafsir.

Lalu saat tengah malam, dan inilah muara dari seluruh kepintaran itu adalah dalam ilmu futurologi. Ia kemudian sangat ahli meramal, yang bahkan hanya dari like postingan yang dilakukan seseorang, ia bisa tahu yang bersangkutan itu kurang sehat jiwanya, belum cukup hidayahnya, bahkan masuk spesies hewan apa ia di kehidupan sebelumnya.

Inilah luarbiasanya negeri ini, banyak orang pintar atau tepatnya orang yang pintarnya banyak.

Namun kejadian inilah yang mirip sama film dilan itu. Anak sekolahan, jarang keliatan belajar, sukanya motoran dan sesekali tawuran, hobi jalan-jalan dan punya segudang kalimat rayuan, namun menjadi teladan bahkan masuk universitas unggulan...woww...

Makanya saya lebih prepare pada Dik Maudy, atau pasangan ReinoSyahrini itu tuh. Tidak ribut-ribut, eh tau-taunya begitu membanggakan. Seperti beli tela-tela 2 ribu, dapat doorprize didalamnya uang 100 ribu.

Eehh...baru sadar, kembalian ibu penjual tela-tela tadi mestinya 3 ribu, kok ini 8 ribu?
Rejeki anak soleh...uhuk uhuk...😊

Komentar

Kreta Amura mengatakan…
Bener bat sih, pembodohan secara besar-besaran ini mah.

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

POLITIK ITU IBARAT ANGKA NOL

Barangkali banyak orang yang menganggap kalau politik itu kotor, namun tidak sedikit pula yang beranggapan sebaliknya. Tidak salah memang orang-orang beranggapan seperti itu, tergantung dari preferensi dan pengetahuan masing-masing. Termasuk disini, saya menganggap politik itu sebagai angka nol.

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **