Langsung ke konten utama

DIKTE

Mendikte seringkali kita lakukan terhadap setiap keinginan-keinginan kita. Tidak memandang seperti apa seseorang yang didikte tersebut, asal terpenuhi keinginan kita disitulah kepuasan kita. Seringkai hal inilah yang menjadikan orang lain kita “tindas” untuk setiap keinginan manusiawi kita. Contoh misalnya dalam memberikan pelajaran kepada seseorang, orang itu mesti melakukan apa yang disuruhkan oleh kita dengan pola dan cara yang sama persis tidak berbeda. Nah hal inilah seolah-olah keinginan kitalah yang paling penting dan kepentingan bahkan hak orang lain terabaikan.

Namun bagaimana dengan keinginan manusiawi kita dan kita tujukan kepada Tuhan? Ya, seringkali juga kita sebagai manusia atau hamba mendikte “kekuasaan” Tuhan dalam doa. Lalu seperti apa mendikte cara manusia dalam doa? Kita seringkali meminta kepada Tuhan untuk suatu keinginan kita tanpa pengukuran lebih dalam atas sesuatu yang kita mintai antara baik dan buruknya kedepan untuk kita. Seperti itulah, memang dalam hidup kita diperhadapkan dengan berbagai pilihan-pilihan dan untuk setiap pilihan ada resiko dan tantangan tersendiri yang perlu dijalani.

Menjadi pendikte Tuhan dalam setiap baris doa yang kita panjatkan menjadi sebuah rutinitas yang kita lakukan. Misalnya ketika kita menginginkan sesuatu, kita berdoa kepada Tuhan agar kita diberikan sesuatu tersebut. Padahal bisa jadi apa yang kita ingini itu saat ini adalah hal paling destruktif untuk kita saat ini. Dan ketika dalam setiap doa dengan rentang waktu yang terlengkapi namun kita belum menemui keadaan yang pantas untuk keinginan kita, maka seringkali kita lupa kepada Tuhan atau menganggap Tuhan tidak adil. Bahkan lebih ekstrim lagi kita menganggap bahwa Tuhan tidak pernah mendengar doa kita, yang kemudian menjerumuskan kita pada kebimbangan hati dan menjadikan kita manusia yang lupa kepada-Nya.

Inilah yang seringkali kita alami, ketika keinginan-keinginan kita diatas kebutuhan kita. Atau bahkan keinginan yang melampaui kebutuhan kita dan menjadikan kita orang yang boros sehingga tidak menutup kemungkinan menjadikan hati kita buta. Seringkali kita lebih memperhatikan keinginan-keinginan kita dan lebih ingin terpenuhi segera ketimbang mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Seringkai saya bertemu dengan seseorang yang sangat mensyukuri apa yang didapatnya sesedikit apapun itu, katanya lumayan lah sudah mendapatkan sedikit daripada tidak sama sekali. Padahal dalam ukuran kebutuhan saya itu lah yang masih sangat kecil. Memang setiap takaran kebutuhan kita berbeda-beda namun yang menjadikan kita mulia terhadap kebutuhan kita adalah cara kita mensyukuri semuanya.

Belajar menjadi pribadi bersyukur bisa menjadikan kita manusia yang lebih mulia terlebih ketika berhadapan dengan manusia lainnya. Tidak perlu menjadikan Tuhan sebagai “pesuruh” kita dengan doa-doa yang seringkali menyangkal kebutuhan kita saat itu, Tuhan lebih tahu dengan apa yang kita perlukan saat ini. Ketika kita diperhadapkan dengan beberapa kegagalan, kerisauan, kecemasan, maka tahulah kita bahwa Tuhan tengah mempersiapkan “kejutan” buat kita, jika kita senantiasa bersyukur dan tawakkal kepadaNya.

Maka pelajaran hari ini adalah bukan berarti doa yang kita panjatkan mesti terealisasi seperti tiap bait yang kita sebutkan, bisa jadi Tuhan memberikannya sebagian-sebagian sehingga kita mampu bersyukur didalamnya hingga akhirnya kita diperhadapkan dengan “kejutan “ besarNya untuk kita. Tuhan tahu apa yang baik buat kita, senantiasalah meminta kepadaNya, bukan tempat atau waktu yang menjadi bukti terkabulkannya doa kita tapi sejauh mana wujud kebersyukuran kita terhadapNya. Karena sampai saat ini mestinya kita berharap dan menyakini bahwa “Tuhan itu Maha Pemalu jika ada tangan-tangan hambaNya yang meminta tanpa diberikannya apa yang dimintainya”. Senantiasalah bersyukur untuk tiap-tiap yang kita miliki saat ini.

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.