Langsung ke konten utama

DEMOKRATI”SAKIT” DALAM REPUBLIK

Konsepsi kerangka Negara, bangsa Indonesia dalam sidang BPUPKI yang kemudian sangat alot berdebat atas model Monarki atau model Republik oleh soepomo dan Hatta, yang kemudian konsep Hatta sebagai sebuah konstruk Republik dengan asumsi kebudayaan Indonesia yang sering kita sebut sebagai budaya gotong royong dan sosialis, kemudian dijadikan konstruksi Republik Indonesia yang hingga kini kita masih memakai nama itu entah semangat yang melatar belakangi munculnya nama itu masih ada atau tidak?
Demokrasi sepeti yang diungkapkan oleh Hatta adalah sebuah tatanan kekuasaan negara yang menempatkan kedaulatan rakyat diatas segalanya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep yang menyatakan bahwa setiap kekuasaan politik mesti ditempatkan diatas kemauan rakyat (umum). Bukannya sebuah demokrasi yang merupakan demokrasi oleh para elit yang digunakan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan dan melegitimasi dirinya dan kelompoknya sebagai kepentingan umum.
Republik berarti kebersamaan (res publica), yang tentunya dilatari oleh semangat solidaritas dan sebagai sebuah tatanan etis dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyat, terutama yang dilakukan oleh negara-negara Republik. Namun apakah negara Republik Indonesia ini seperti itu?, atau kemudian republic hanya dijadikan pemuas nafsu politik para elite bangsa ini yang kemudian mengatasnamakan demokrasi dan kekbebasan dalam Republik ini.
Demokrasi di negeri ini dijadikan sebagai tujuan padahal semestinya demokrasi dijadikan sebagai sebuah alat untuk menjadikan masyarakat atau rakyat bangsa ini sejahtera. Demokrasi memang tidak dapat menjawab semua persoalan-persoalan yang cukup kompleks, demokrasi bukanlah seperti “kantong Doraemon” yang menyediakan segala kebutuhan kita dalam memecahkan persoalan kita yang cukup kompleks ini. Demokrasi tidak bisa menjawab dan bertanggungjawab atas kelakuan para elite yang mengatasnamakan demokrasi untuk kepentingan diri dan kelompoknya, pemenuhan syahwat politik mereka yang kemudian dirusakkannya tatanan etika social di indoensia yang memiliki semangat gotong royong ini. sehingga demokrasi di negeri ini hanya dilihat sebagai Demokrati”sakit” belaka.
Pagelaran film documenter drama romantis Demokrasi oleh para elite seringkali terlihat di media massa maupun media elektronik, dengan dikemas dalam sebuah kemasan demokrasi dan jubah keadilan maka otoritrianisme sistemik di bangsa ini menjelma seperti makanan siap saji yang bervitamin tinggi untuk kemaslahatan bangsa ini. sekali lagi rakyat terbohongi oleh slogan-slogan yang menjual nama mereka.
Masih hangat ditelinga kita bagaimana korupsi “berjamaah” yang dilakukan oleh para pemangsa bangsa ini, jual beli hukum layaknya permen yang dijajakan di kios-kios, keadilan yang dikerdilkan ketika berhadapan dengan “si kecil” rakyat, masih ingat denga “trisula” kematian keadilan (prita-kakao-semangka?), itu cuman contoh kecil yang dalam drama ini dijadikan adegan sambil lalu yang cuman lewat dengan durasi yang cukup singkat ketimbang “curhatan” pemimpin Republik ini bahkan pernah disebut-sibut sebagai negarawan atas kritikan terhadap dirinya, sungguh ironis memang di bangsa ini kritikan dijadikan sebagai upaya “melawan” kuasa, justru pencitraan diri yang dikedepankan sebagai wujud penghargaan terhadap kuasa, padahal dalam konsepsi Republik yang dikatakan Hatta yang menginginkan partisipasi rakyat serta kesadarannya terlibat dalam penyelenggaraan negara sebagai wujud demokrasi bukannya sanjungan atas data statistic hasil jajak pendapat tentang “popularitas” sang pemimpin tersebut, yang kemudian ditanggapi “inilah kemajuan Demokrasi di bangsa kita, mari kita dukung!!!” dan kritikan yang ditanggapi dengan “ini fitnah untuk keluarga saya!!!!”.



Perjalannnya demokrasi hanya dimaknai sebagai kebebasan hak politik warga negara dalam politik (pemilu), kendaraan politis para elite untuk mendapatkan kekuasaan yang kemudian disebut-sebut implikasi dari demokrasi, sedangkan itikad demokrasi untuk mensejahterakan rakyat belum kelihatan dalam Republik ini. dampak kemiskinan dan pengangguran tidak ditanggapai sebagai dampak negative dari demokrasi namun hanya sebagai kesalahan data statistik belaka, akibatnya demokrasi hanya menjadi “tuduhan” untuk memperebutkan kekuasaan di negeri ini. sehingga demokrasi terpenjarakan dalam kepentingan nafsu politik para elite bangsa ini.
Seiring dengan itu tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan semakin meredup, padahal Franklin D Rosevelt mengatakan untuk mengetahui suatu masyarakat maka lihatlah pemerintahnya, jika keadaannya seperti ini mana yang mau dilihat?, para elite sibuk dengan retorika manisnya dan masyarakat sibuk dengan masalahnya sendiri. Menurut salah satu filosof yunani Isokrates mengatakan untuk mengetahui peradaban suatu kelompok lihatlah bagaimana dia berbicara, dan jika suara-suara apologi dan pembohongan atas nama demokrasi oleh para elite kita apakah ini peradaban kita?...
Demokrasi kita hanya sebatas kebebasan politik dalam pemilu yang kemudian melahirkan suara mayoritas (umum) sebagai sesuatu yang “baik” entah untuk siapa? Tapi kemudian dalam Republik yang merupakan wujud dari kebersamaan (res publica) menyatakan bahwa yang umum “mayoritas” belum tentu yang terbaik, disamping itu republic adalah sebuah tindakan yang mengarah pada diskursus social yang mengetengahkan adanya kebebasan dan aktifitas intelektual, dan kebebasan yang dimaksud disini adalah tidak menyangkut diri orang perorang akan tetapi hubungannya dengan orang lain.
Kita tidak pernah tegas untuk mengatakan apa sebenarnya penyakit bangsa ini? Para politikus sibuk dengan bagaimana caranya agar dia terpilih kembali, para elite bangsa sibuk dengan mobil barunya, para pemuda bangsa ini yang seakan oportunis dengan keadaan ini, dan rakyat yang bingung dengan kondisi ini. Bukan berarti dalam perjalanannya nanti indikasi Demokrati”sakit” ini kemudian akan meluap pada proses disintegrasi bangsa, semua pihak kemudian mengedepankan semangat primodialismenya akibat ketidak percayaan pada konsensus kesatuan bangsa indonesia yang tidak dapat menjawab apa-apa selain kelakuan ”binal” para elite yang kemudian berubah menjadi monster leviathan baru di Republik ini.
Apakah kita akan termanggu dengan hal ini, sang Garuda yang seakan malu melihat kelakuan kita, dan bukan berarti indikasi laten disintegrasi ini akan terjadi, jika keadaan seperti ini terus yang semakin hari semakin memanas dengan model-model pembohongan baru, bisa saja ”telur-telur primordialisme” yang selama ini ditempatkan kedalam sangkar ”Bhineka Tunggal Ika” akan menetaskan ”garuda-garuda” kecil di daerah sehingga Republik ini, kebersamaan ini, gotong royong ini, sosialismenya juga hanya akan tercatat dalam sejarah layaknya sejarah negeri atlantis dahulu, semangat Bhineka Tunggal Ika hanya dituliskan sebagai kata kata bijak tempo doeloe. Maukah seperti itu ? atau Gotong Royong lagi? Hidup Res Publika!!

*disuatu malam di bilik pondokan mahasiswa
Januari 2010

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **

Perempuan Yang Menolak Kalah

Lokasi Foto: Pelabuhan Feri Mawasangka, Buton Tengah Seringkali orang-orang hebat itu, bukan berasal dari kilaunya lampu kamera, ramainya kemunculannya pada televisi atau riuhnya sorak sorai orang-orang saat ia muncul. Tapi, kadang kala orang-orang hebat itu berada di tempat yang sunyi, jarang dilewati kebanyakan orang bahkan pada tempat yang seringkali tidak sadari. Mereka terus bergerak, memberi nilai, merubah keadaan dan mencipta keajaiban kecil bagi lingkungannya. Pada beberapa bulan lalu saya berkunjung ke panti asuhan yang sekaligus pesantren Al Ikhlas, Kaisabu. Seperti biasa, turun dari kendaraan saya bertanya pada salah seorang anak disitu. Ustad mana? Ia jawab, di dalam ada ummi. Lalu saya masuk, bertemu ummi. Pertanyaan pertama setelah mengenalkan diri, saya tanya "ummi, ustad mana?". Beliau terpaku sebentar, lalu tersenyum kemudian menjawab "ustad sudah tidak ada". Ada titik bening disudut mata beliau. Saya kembali bertanya,"maksudnya ummi?". ...