Langsung ke konten utama

Dua Sisi Keping Uang Logam

Gambar: Ilustrasi
Seperti dua sisi keping uang logam, yang biasanya dijadikan bentuk undian untuk mengetahui pihak siapa yang akan memulai duluan. Namun bahasan disini berbeda dengan dua sisi keping uang logam tersebut, karena bukan untuk ingin melihat siapa yang akan memulai atau siapa yang kalah, namun pada nilai yang dikandung pada dua sisi keping uang logam tersebut. karena dibolak balik seperti apapun, nilai dari uang logam itu akan tetap sama yang berbeda adalah pada gambarnya saja.


Lalu kenapa tulisan ini membahas mengenai dua sisi keping uang logam tersebut? sebenarnya, ini berawal karena bahan diskusi di jejaring sosial dan di forum-forum lainnya tentang dinasti politik di beberapa daerah, banyak pihak yang menolak hal ini karena ini bagian dari perusakan nilai demokrasi namun tidak sedikit juga yang mendukung hal ini, kenapa? Karena sekalipun hal ini banyak terjadi di daerah namun toh posisi-posisi tersebut juga dilewati pada jalur politis yakni melalui pemilu dan pemilukada.

Oleh karena itu, dinasti politik tidak bisa juga disalahkan telah merusak demokratisasi di daerah karena melalui pula proses demokratis dalam pemilu. Hanya saja memang pada tataran etis mungkin belum bisa dipahami sebagai bentuk demokratis, karena beberapa proses pemilu tersebut terutama di daerah masih disangsikan keabsahannya. Kita tahulah, bagaimana permainan money politik didaerah yang begitu menggurita bahkan dianggap wajar di daerah.

Namun pada posisi ini saya tidak menempatkan diri sebagai pendukung dinasti politik maupun sebagai pihak yang menolak hal ini. tapi saya ingin menempatkan diri secara proporsional saja, karena memang ada beberapa hal yang bisa diterima dan tidak bisa diterima dari kondisi tersebut. bukan untuk menunjukkan diri tidak punya pendirian terhadap satu hal, atau mencari pembenaran pada dua hal yang memang berbeda, namun saya akan menjelaskan alasan argumentatif tentang politik dinasti ini melalui pemikiran saya yang sederhana tentang konsepsi tersebut.

Kaitannya kemudian, bahwa diawal saya menjelaskan pada keberadaan dua sisi keping mata uang. Walaupun dibolak balik sedemikian rupa tetap saja nilai yang diberikan oleh keping uang logam tersebut akan sama saja. Contohnya; Jika keping logam 500.an di bolak balik bagaimanapun akan tetap 500 nilai uang tersebut kan?, yang berbeda adalah pada gambarnya saja, tidak lebih kan?.

Nah, titik persoalan kita adalah pada politik dinasti yang terjadi di beberapa daerah yang saat ini banyak dilirik adalah provinsi Banten dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sekalipun kemudian kita tahu proses yang dijalani mereka baik melalui pemilu dan pemilukada, telah dianggap sah oleh lembaga yang berwenang yakni Komisi Pemilihan Umum. Dalam hal ini berarti legitimasi dari proses tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara yurudis, tapi persoalan kompetensi dan kapabilitas itu tergantung dari kinerja yang diberikan. Karena masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas pilihannya, bagaimanapun masyarakat memilih dengan berbagai preferensi mereka misalnya; ikatan kekeluargaan, teman, simpatisan, atau nama besar keluarga yang bersangkutan didaerah tersebut. walaupun beberapa mungkin kita tahu sempat mengecap money politic yang terjadi.

Posisinya sekarang, kita belum bisa sepenuhnya men-judge bahwa politik dinasti itu merusak demokrasi, toh prosesnya tetap demokratis kok. Namun sisi negatif dari konsepsi ini adalah pada kinerja, kebijakan, maupun pembagian kekuasaan didaerah, karena bisa jadi akan terbangun sebuah jaringan kekeluargaan di dalam proses penyelenggaraan publik di daerah. Pun proses publik, hanya akan berputar dalam lingkup kekeluargaan tersebut atau yang kita sebut sebagai sebuah dinasti. Beberapa kerjasama ataupun program yang dilakukan akan berbeda atau mendapat perlakuan yang berbeda jika kemudian preferensi keluarga yang dikedepankan, dan inilah yang dikhawatirkan oleh pihak yang menolak dinasti politik tersebut, tapi memang kelihatannya seperti itu.

 Tapi ini bukan berarti saya mendukung konsep ini, karena sebenarnya yang ingin saya sampaikan disini adalah pada proses yang menurut saya memiliki nilai yang sama. Seperti dua sisi keping mata uang yang disebutkan diawal,  bahwa hal ini memiliki nilai negatif yang sama destruktifnya dalam penyelenggaraan layanan publik bagi masyarakat didaerah. padahal masyarakat adalah basis atau unit utama dalam melaksanakan pelayanan publik di daerah. apa itu? itu adalah “Dinasti Struktural Birokrasi di Daerah”.

Nah, bayangkan sekarang tentang dinasti struktural tersebut yang seringkali kita temukan di beberapa daerah. ini merujuk pada proses penyelenggaraan pegawai negeri sipil didaerah maupun pada proses seleksinya yang lebih diorientasikan pada kedekatan kekeluargaan ketimbang kapabilitas yang dimiliki oleh masyarakat. sehingga biasanya posisi jabatan PNS di daerah-daerah hanya berkutat pada keluarga, kolega, maupun kenalan dari pejabat struktural didaerah, dan jelekknya keadaan ini oleh masyarakat dianggap wajar saja.

Belum lagi pada dinasti struktural daerah ini adalah “jualan posisi/kuota”, kondisi ini terjadi pada saat penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) daerah. dalam artian bahwa, penerimaan penyelenggara negara khususnya didaerah lebih disebabkan oleh seberapa dekat si calon dengan pejabat struktural daerah saat itu atau seberapa besar rupiah yang bisa dibayarkan oleh si calon untuk posisi tersebut ketimbang kapistas dan kapabilitas seseorang. parahnya lagi, calo jualan ini bisa jadi berasal dari lingkup struktural daerah dan ini menjadi semacam bagi-bagi objekan bagi mereka. Ironi.

Kondisi ini menjadi rahasia umum didaerah, sehingga ketika ada tes CPNS daerah masyarakat kebanyakan mulai tidak percaya lagi. Bahkan pernah saya diberitahu tentang seberapa besar peluang diterimanya seseorang diibaratkan dengan peryataan 4 tangan (garis tangan, tanda tangan, jabat tangan, dan buah tangan). Ini semacam hirarki “peluang” dalam artian bahwa, keputusan terakhir adalah pada buah tangan yang bisa diberikan kepada pihak yang berwenang didaerah untuk sebuh posisi tertentu. Tentu besaran rupiah tersebut terbilang cukup besar, bahkan bisa sampai ratusan juta tergantung sebarapa sulit posisi tersebut dan seberapa banyak yang menginginkan posisi tersebut. jadi jangan heran jika praktek korupsi merupakan sebuah kebutuhan karena ini dilakukan untuk mengganti semua bayaran tersebut setelah menjabat, istilahnya “kembali modal”.

Nah, jika kemudian kondisi ini dikaitkan dengan dinasti politik tersebut diatas menurut saya memiliki nilai yang sama, dalam artian destruktif bagi keadilan sosial didaerah. cara kerja ini kemudian akan melahirkan sebuah dinasti struktural didaerah, dimana jabatan-jabatan struktural akan “dikuasai” oleh keluarga maupun kolega siapa yang berkuasa didaerah. mungkin ini bisa kita masukkan dalam implikasi negatif dari perjalanan otonomi daerah, untuk itu mesti ada perbaikan maupun antisipasi dari proses ini yang terus saja berjalan dan masih terus dianggap wajar.

Saya menyatakan ini bukan berarti bahwa saya sebagai pihak yang pernah dirugikan di kondisi tersebut, tapi hanya mencoba menafsirkan problema publik saat ini. karena jujur saja saya juga berasal dari rantai keluarga yang memiliki jabatan struktural didaerah, dan bisa jadi suatu saat saya akan diperhadapkan dengan kondisi itu, tapi semoga saja saya masih bisa kritis...hehehe. tapi apapun itu, politik dinasti memang jelek namun jangan kita melupakan juga ada saudaranya yakni dinasti struktural didaerah yang seringkali kita lupakan.

Sudah semestinya hal ini kita lihat seperti dua sisi keping uang logam tadi, bahwa permasalan publik disini bukan saja dinasti politik namun juga pada dinasti struktural didaerah. karena persoalan ini bukan saja menyangkut keadaan sumberdaya birokrasi yang bisa jadi tidak kompatibel dengan jabatannya, namun bisa merembet kemana-mana, misalnya saja pada kebijakan atau program yang berpihak, dan kondisi ini bisa jadi akan berimplikasi pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan publik dan klimaksnya adalah adanya ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Dan ini saya pikir mulai terjadi di beberapa daerah.

Namun begitu, kita juga tidak bisa mengeneralisir hal ini kepada semua daerah di nusantara. Karena beberapa daerah saat ini muncul dengan terobosan-terobosan inovatif daerahnya, masih ada pemimpin-pemimpin daerah yang lebih mengutamakan masyarakatnya secara umum ketimbang keuntungan pribadinya. Masih banyak pihak-pihak di struktural daerah yang bekerja dengan ikhlas dan penuh pengabdian, dan mereka ini masih terendap dibawah gegap gempita pemberitaan negatif. Kita masih bisa optimis dengan mereka kok, atau setidaknya kita bisa meniatkan dalam hati bahwa jika saya berada pada posisi seperti mereka (pelaku dinasti politik dan struktural tersebut) maka saya tidak akan melakukan hal yang serupa. Pilihan baik dan buruknya nanti masih ada di tangan kita, tangan-tangan generasi penerus bangsa ini. semoga.....

Surakarta, 22 Nopermber 2013

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.