Langsung ke konten utama

Sejenak Merenung


Beberapa hari yang lalu, saya baru saja menuntaskan bacaan novel yang diinspirasi dari kehidupan pak Dahlan Iskan. Ini serial kedua setelah novel pertama berjudul sepatu dahlan dan ini edisi keduanya berjudul surat dahlan yang ditulis oleh Khrisna Pabichara. Novel ini sebenarnya sudah termasuk lama terbitnya dan saya agak terlambat membacanya. Namun akhir-akhir ini, membaca novel biografi atau yang mengajak berpikir agak berat memang lebih menyenangkan. Sebut saja misalnya Paulo Coelho, Ayu Utami, Dee, Tere Liye, atau sekaliber Jostein Gadner atau mungkin Dawn Brom. Heheh....

Kenapa kemudian saya ingin menuliskan ini?, jujur saja sampai hari ini disaat saya menuliskan ini, saya masih berpikir terus mengenai sebuah kata-kata yang ditulis dalam novel surat dahlan ini yaitu “...tak ada gelap yang tak disertai terang...”. bagi saya kata ini memiliki kekuatan tersendiri, dengan kondisi lingkungan saya saat ini mungkin ini akan nyambung. Cuman saat ini saya ingin membatasi pada apa yang namanya mengeluh, karena hidup terlalu berharga jika separohnya hanya dihabiskan buat mengeluh.

Kemudian saya kembali merenung, ketika kita merasa bahwa kesialan, apes, kemalasan atau apapun itu yang menyambut dalam kepongahan yang berujung pada kebosanan dalam menjalani apa yang kita jalani saat ini. bahkan bisa jadi, ada sebuah pertanyaan yang terlintas pada pikiran bahwa apa yang dijalani hari ini adalah sebuah kesalahan pilihan. Balik lagi kebelakang, ketika dahulu semangat untuk terus menyikapi semuanya dengan senyuman saya selalu menyakini bahwa apa yang kita jalani hari ini adalah bagian dari takdir-Nya, dan kesemuanya adalah proses kebaikan bagi kita, karena DIA tahu mana yang baik bagi umat-Nya.

Kembali ke persoalan merenung, karena ini merupakan perenungan barangkali tepat kiranya jika susah mencari padanan kata yang cocok untuk menuliskannya disini. Bahkan ketika saya mencoba menggambar pada kertas sketsa saya itu masih cukup sulit jadinya gambar apa, karena agar tidak menimbulkan gambar yang akan membuat takut saya sendiri maka saya tidak menggambarnya. Nah, bahasan ini sudah jauh melenceng dari perenungan, kan namanya juga merenung....hehee..

Ayo kita kembali merenungkan, kita kaitkan dengan kata tadi bahwa tidak ada gelap yang tidak di sertai terang. Mencoba kembali menarik semangat yang dulu berkobar-kobar dalam pikiran, bahwa setiap yang di-imaginasikan akan bisa kita lakukan memang cukup sulit tapi bisa kok. Hingga akhirnya, saya harus menyerah pada keterbatasan fisik yang kurang asupan gizi, saya mungkin sakit saat ini karena banyak pikiran yang ingin ditarik kembali.

Yaah...walaupun kemudian saya kembali menyudut pada sebuah sudut, iya sudut karena setahuku ini sudut dan kamar kost saya pun berada di sudut. Bahwa, kenapa kita mengkhawatirkan masa depan yang sepenuhnya masih misteri itu? bukannya belum ada seorang pun yang berasal dari masa depan yang kemudian bisa menceritakan seperti apa masa depan seseorang nanti?, saya meyakini bahwa masa depan itu seperti apa yang kita perbuat hari ini. jika hari ini kita membuat roti, di masa depan mungkin kita jadi pengusaha roti, iya kan? disini saya mulai berbicara logis.!!hehehe..

Sekali lagi saya katakan, kembali lagi ketopik sebelumnya. Tulisan ini diawal menjadi berat karena beberapa hal yang mestinya tidak saya tuliskan, namun entahlah pikiran ini mau juga menuntun jari untuk menekan tuts laptop untuk menuliskannya. Hanya saja, ketika ini saya lakukan ada semacam sebuah aliran semangat yang memunculkan beragam ide ini dan itu. hidup kita nanti kita yang akan tentukan bro, sebaik apapun atau seburuk apapun nanti patut disyukuri dan diambil hikmahnya, karena itu berasal dari apa yang kita perbuat sendiri kok.

Hoaaamm....pokoke tetep semangat menjalani ini, kan tak ada gelap yang tak disertai terang. Atau saya baru saja mengutip kata-kata lainnya yang bilang “sebenarnya tidak ada gelap hanya ada kekurangan cahaya”. Yuppp...apapun yang terjadi hari ini, dan kita menganggapnya sedang berada dalam suasana yang gelap, kenapa tidak kita angkat dan menggesernya sedikit ke arah cayaha biar disana akan lebih terang.

Sekian dari perenungan malam ini, semoga bermanfaat...dan jangan pernah mencoba merenung di tempat gelap, karena gelap semestinya menyimpan hal-hal yang terang namun bisa jadi hal yang terang itu juga memiliki dampak yang negatif (ini mulai ndak nyambung deh...) heheh...

Ya udah sekian dan terimakasih...


Surakarta

29 Oktober 2013

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.