Langsung ke konten utama

Kebetulan

Gambar disini
Pernah saya bercerita sebelumnya disini, Tentang sepasang Kakek Nenek yang berjualan di lingkungan kampus UNS, mereka tidak menyerah pada kehidupan yang mentakdirkan mereka hidup dalam keterbatasan, kakek yang tuna runggu dan nenek yang cacat ditangannya.

Hari ini, kebetulan bertemu  kawan  lama seorang sopir bus kampus UNS. Karena lama tidak ngobrol makanya diajaknya saya naik bus nanti diantarnya ke tujuan saya, perpustakaan pusat UNS. Sebenarnya tujuan saya tidak berjarak terlalu jauh dari gerbang kampus dimana saya bertemu denganya, hanya saja bahan obrolan kami masih panjang dan akhirnya saya ikut memutar kampus dan turun pas depan Gedung Pascasarjana, yang kebetulan itu berada dibelakang perpustakaan.

Disinilah, kembali saya bertemu dengan sepasang kakek nenek yang saya sebutkan sebelumnya. Namun hari ini, cuman ada nenek. Ketika turun dari bus beliau langsung menawari saya sapu lidi yang dibuatnya sendiri, lalu dibilangnya “sapunya mas sedoso mawon (sepuluh ribu saja)”. Tapi saya tidak memerlukan itu, lalu saya menghampirinya dan melihat-lihat sapu yang dijualnya, sambil mengajaknya bercerita.

Tidak banyak yang bisa saya tangkap dari pembicaraan itu, karena dipakainya bahasa jawa (maklum nenek) makanya saya cuman menggangguk dan paling mengatakan “oohhh...(lalu tersenyum)”. Beliau tinggal di Pucang Sawit bersama kakek, punya dua anak satu lelaki dan perempuan dan keduanya sudah memiliki anak masing-masing satu (berarti cucunya), saya berucap Alhamdulillah.

Namun ada hal yang membuat saya kembali tercengang, mendapat pelajaran dari seseorang yang tidak pernah menyesali arti hidup dalam keterbatasan, mejalani hidup sebagai bagian dari anugerah yang lain disaat anugerah yang lainnya dibatasi. Saya bertanya, Kakek mana nek? Sehat?. Beliau bersenyum dan mengatakan (pakai bahasa Jawa) namun penangkapan saya katanya seperi ini “Kakek lagi mengambil bantuan pemerintah, katanya 150 ribu (satus seket ewu) di kelurahan pucang sawit”. Saya hanya bisa tersenyum, bergumam dalam hati.

Tiba-tiba saya mengingat tentang kreativitas yang pernah saya tuliskan sebagai status di FB, bahwa kenaikan BBM dengan keresahan dan tuntutan serta penyalahan pihak pemerintah atas kenaikan harga BBM itu sebagi sesutu yang tidak kreatif. Kita cenderung menggantungkan diri pada satu hal, padahal kita paham bahwa tidak semua hal akan sangat tergantung pada kondisi tersebut. namun fokus kita terpusat pada itu saja. Kakek nenek ini mengajarkan itu, bahwa sesuatu itu  boleh jadi bukanlah satu-satunya jalan, bukankah banyak jalan menuju roma?

Kita masih patut berbangga bahwa, masih ada manusia-manusia di bangsa ini yang bisa mengajarkan kita artinya hidup. Disaat ada yang namanya bantun untuk rakyat miskin oleh pemerintah, kakek nenek ini tetap membagi tugas, kakek menerima bantuan dan nenek tetap menjual. Mereka memberitahu saya sesuatu secara tidak langsung, bahwa kemiskinan itu bukan ketiadaan apa-apa namun kemiskinan itu adalah ketiadaan harapan.

Mengambil pelajaran berharga dari kedua orang tua ini, bagaikan menemukan oase ditengah keringnya ketergantungan kita pada sesuatu. Kita tentu paham, tentu saja kakek nenek ini sangat butuh sekali dengan bantuan itu. namun mereka tetap saja membangi tugas kakek menerima bantuan dan nenek tetap menjual. Padahal menurut saya mereka ini pasangan tak terpisahkan saling melengkapi, berjalan bersama bersisian saling menuntun, yang satu tuna runggu yang satu cacat tanganya. Tentu jika berjualan mereka mesti senantiasa bersama kan?

Ketika kita hanya menggantungkan diri atau berpasrah pada satu hal, kemudian tidak mau berpikir ada sesuatu hal lainnya yang sebetulnya bisa kita lakukan dalam hidup. Sehingga ketika satu hal itu ternyata tidak sesuai harapan kita, maka apalagi kalau bukan berputus asa. Mencari sebab kesalahan itu, namun bukan pada diri kita tapi pada diri orang lain. Intinya kita lebih mudah mencari atau memberikan sumber kesalahan atas apa yang kita lakukan kepada orang lain, ketimbang mengevaluasi diri sendiri kesalah apa yang kita perbuat sehingga usaha belum sesuai harapan kita.

Belajar dari kebetulan, dari pertemuan dengan kakek nenek yang membijaki hidup dengan tidak pernah menggantungkan diri pada orang lain. Mereka paham ketika bantuan dari pemerintah itu memang mereka butuhkan, namun tetap bekerja berjualan adalah merupakan kebutuhan mereka juga.

Belajar bahwa ketika bertawakkal dengan sesuatu yang kita kerjakan itu perlu, namun kita tetap perlu untuk mengerjakan hal lainnya untuk memperkuat identitas tawakkal kita itu, berbuat dan berusaha sesuatu yang lain untuk mendukung tawakkal kita itu. bukankah kokohnya sebuah bangunan bukan karena hanya menopang pada satu pilar saja, namun pada beberapa pilar yang kemudian saling menguatkan mengokohkan.

Nenek itu mungkin sedikit kecewa karena jualan sapunya tidak terbeli oleh saya yang hanya mengajaknya bercerita, namun saya tidak ingin mengecewakan Tuhan saya dengan hanya bisa melihat tangan hamba-Nya yang lemah untuk tidak dibantu. Nominal bukanlah merupakan substansi, namun ketulusan. Seperti kakek dan nenek ajarkan secara tidak langsung kepada seorang yang terus melihatnya dari jauh sebagai sesama pejalan kaki.


_Surakarta, 24 juni 2013_ 

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.