Ishaan, seorang anak disleksia dalam film Taare Zameen Par yang membuat saya kembali menyimak film ini diputar pada chanel ZEE Bioskop jumat malam lalu. Pada awal menonton film ini, fokus saya pada ishaan namun pada akhir film saya justru fokus pada bapak ishaan.
Ia mungkin digambarkan sebagai sosok yang tegas sekaligus tega pada ishaan, dianggap "berbeda" dengan kakaknya bahkan anak kebanyakan. Namun, dibalik sosok itu ada karakter yang begitu rapuh, lembut dan penuh kasih sayang pada anaknya, hanya saja itu tidak nampak sebagaimana reaksi ibu ishaan.
Disisi lain, sikap bapak ishaan ini juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Ishaan yang dianggap abnormal, bodoh, pemalas dan nakal dikelas. Ishaan divonis mengidap disleksia, atau kemampuan kognitif yang sulit mengenal huruf dan membaca tulisan, namun sangat imajinatif.
Ruang sosial yang didiami keluarga ishaan, memandang hal ini sesuatu yang tidak semestinya. Hal inilah yang membuat bapak ishaan bersikap tegas, mengirimnya ke asrama untuk di"bina". Tapi kita tahu, ini pilihan sulit baginya namun lingkungan sekitar lebih menekannya ketimbang pilihan mengasramakan ishaan.
Bapak Ishaan, adalah sebagaimana kita dalam lingkungan sosial. Kita dipaksa menerima apa kata orang-orang, menarik kita pada sudut ruang sosial yang sempit, memaksa kita berpikir dan bertindak untuk sesuatu yang secara pribadi mungkin saja kita tolak. Tapi apa kata orang nanti?, begitu suara membisik dalam benak kita.
Nah...soal ini sejalan dengan buku yang tengah saya baca, yakni Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Belum selesai sih, hanya saja buku ini memperkenalkan saya pada definisi kebahagiaan menurut aliran filsafat stoisisme (stoic).
Bahwa untuk bahagia atau ataraxia dalam istilah yunani ialah kondisi dimana tidak adanya gangguan atau tiadanya penderitaan. Selain itu untuk bahagia, ajaran stoa ini mengajarkan untuk melepaskan diri pada sesuatu yang diluar kendali kita.
Semisal, saat terjebak macet, atau berteduh saat hujan, atau kemalangan versi kita lainnya, semestinya tidak dilihat sebagai gangguan. Namun, kita bisa merubah sikap kita dalam menanggapinya misal macet adalah kesempatan untuk bercerita lebih banyak dengan pasangan, hujan menjadi saat paling tepat untuk sedikit istrahat pada perjalanan, atau kebiasaan-kebiasaan lainnya yang intinya melihat pada kapasitas diri kita
Akhirnya saya juga teringat soal keadilan versi Imam Al Ghazali, bahwa apa-apa yang terjadi pada kita adalah bentuk keadilan Allah Swt. Silahkan saja memerhatikannya kedalam diri kita...
Saya pikir sikap seperti ini, yang jarang ditemui saat ini. Semisal media sosial, yang seringkali menjadi gudang kata-kata yang tidak menyenangkan, erosi moral dan patahnya solidaritas.
Nb. Itu gambar di slide pertama adalah Aamir Khan dan bukan saya, oke!
Komentar