Langsung ke konten utama

Semesta Dalam Botol Minyak Cengkeh

Kakek Jalil


Kebijaksanaan itu proses mendapatinya bisa beragam, salah satunya melalui titian pengalaman hidup yang cukup panjang, tidak mudah namun penuh pemaknaan.
Sebagaimana Pak Jalil, pada usianya yang telah genap 75 tahun ini. Beliau masih sanggup mencari rejeki sendiri, menjajakan botol minyak kayu putih atau minyak cengkeh.
Jualannya tidak banyak, begitupun juga harganya tidak mahal. Namun, disitulah letak salah satu kebijaksanaan hidup dari beliau. Saya bertemu dengan beliau hari ini, saat menjajakan minyak cengkeh di kampus UM Buton.
Alhamdulillahnya saya berkesempatan membeli minyak cengkeh yang dibawanya. Lalu menawarinya minum, sambil duduk bercerita untuk mengambil beberapa kebijaksanaan hidup dari beliau.
Pengalaman yang dimaknai sebagai visi kehidupan, selalu bisa menjadi nyawa kedua bagi manusia. Beliau banyak bercerita tentang makna serta nilai, yang menurut beliau patut dijadikan pegangan agar hidup tak memiliki musuh, agar kita dapat diterima dimana saja.
Beliau sempat tanya, kamu kerja disini?, saya jawab iye pak.
Lalu ia kembali bertanya, sebagai guru atau murid?,.
Saya jawab, "saya guru pak kalau disini disebut dosen".
Ia tersenyum, lalu bilang "tidak mengajarkah?".
Sambil membenarkan duduk, "saya bilang tidak pak, jadwal saya kemarin sama besok, ini kosong bisa cerita-cerita dulu".
"Harus bagus kita punya etika", tetiba beliau berkata itu. Lalu melanjutkan, "kalau bagus etika kita, nanti kepala sekolah liat kita, bisa diangkat jabatannya, karena bagus. Tapi di manapun itu, kalau bagus etika kita pasti disukai sama orang, tidak ada musuh, Tenang hidup kita, tutupnya sambil tersenyum dan mengelus dadanya. Saya hanya bisa mengangguk.
Kalau sekarang orang mudah mendapat musuh pak, itu bagaimana?. Beliau menjawab,"pegang tiga hal ini BERAGAMA, BERPANCASILA dan BERKEBUDAYAAN". Ini ada kaitanya sama etika tadi, intinya itu ada di beragama atau berketuhanan, semua-semuanya muaranya kesitu.
Saya masih saja senyum-senyum, berusaha menangkap maksud kata berpancasila. Tapi kata beliau, berpancasila ini sama saja dengan cinta tanah air. Percakapan kami masih berlanjut, mulai dari masa muda beliau hingga saat ini namun dalam versi singkat.
Saya penasaran dengan umur beliau yang katanya 75 tahun, tapi penglihatan saya usia sebegitu dengan aktivitas ini tentu bukan hal mudah. Lalu saya tanya, "Pak, sudah usia 75 tahun tapi masih kuat, resepnya apa pak? Atau makan apa?. Beliau senyum, lalu bilang ada fahamnya, tertulis dan tidak tertulis.
Dalam hati saya, bisa sampai besok ini kalau bahas soal faham. "Kalau begitu, satu hal saja pak", buru saya bertanya. Beliau minum sejenak lalu, bilang...
"Hiduplah secukupnya, kalau makan secukupnya jangan sampai terlalu kenyang tidak bagus. Kalau mencari uang atau kerja juga secukupnya, tidak habis dikejar kalau soal uang".
Ia menambahkan, "ingat ini soal cukup tadi, kalau sabar pasti subur-kalau buru-buru masuk kubur", sambil tertawa ia bilang ingat itu saja. Saya mengangguk, antara paham dan berusaha mencerna kata-katanya.
Saya juga tanya soal, matematika jodoh. Kata beliau ada hitung-hitungnya dari nama kalian kata beliau. Tapi ini tak perlu saya tuliskan disini yaa....rahasia heheh.
Sayup suara adzan dzuhur berkumandang, saya mencukupkan cerita untuk siap-siap ke masjid. Tapi, saya masih minta satu nasehat lagi. "Pak, kasih saya satu nasehat juga doa buat bisa berguna?."
Beliau menjawab, "Kamu pegang paham ini saja, BERIMAN, SABAR, JUJUR, CEPAT, TEPAT, TERAMPIL", kata beliau. "Dengan itu, kamu bisa berguna dimana saja. Itu yang saya pegang sampai saat ini, saya tidak punya musuh saya", tutup beliau.
Lalu kami saling pamit, beliau mau sholat di tempat lain katanya. Semoga bisa bertemu lagi nanti, buat bisa dapat ilmu lain lagi.
Ohh iye, beliau menjajakan minyak cengkeh biasa juga minyak kayu putih. Dikirim dari Namlea, ada anaknya disana.
Harganya 20 ribu rupiah, meski belum butuh saat ketemu beliau belilah yaa guys...nanti pasti butuh kok, kan tidak basi juga kalau disimpan. Biar lakunya bisa dipake beliau buat makan dan ongkos ke kampungnya di Lande atau Windu Makmur kata beliau.
Rabu, 6 Januari 2020
_mas arya_

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **

Perempuan Yang Menolak Kalah

Lokasi Foto: Pelabuhan Feri Mawasangka, Buton Tengah Seringkali orang-orang hebat itu, bukan berasal dari kilaunya lampu kamera, ramainya kemunculannya pada televisi atau riuhnya sorak sorai orang-orang saat ia muncul. Tapi, kadang kala orang-orang hebat itu berada di tempat yang sunyi, jarang dilewati kebanyakan orang bahkan pada tempat yang seringkali tidak sadari. Mereka terus bergerak, memberi nilai, merubah keadaan dan mencipta keajaiban kecil bagi lingkungannya. Pada beberapa bulan lalu saya berkunjung ke panti asuhan yang sekaligus pesantren Al Ikhlas, Kaisabu. Seperti biasa, turun dari kendaraan saya bertanya pada salah seorang anak disitu. Ustad mana? Ia jawab, di dalam ada ummi. Lalu saya masuk, bertemu ummi. Pertanyaan pertama setelah mengenalkan diri, saya tanya "ummi, ustad mana?". Beliau terpaku sebentar, lalu tersenyum kemudian menjawab "ustad sudah tidak ada". Ada titik bening disudut mata beliau. Saya kembali bertanya,"maksudnya ummi?". ...