Langsung ke konten utama

Ide hanya akan menjadi ide, maka Tulislah


Seringkali kita berkubang dalam ide, berpikir ini itu, ingin melakukan ini itu, ingin membuat ini itu. Terjebaklah kita pada kata "akan", yaa...kita hanya mampu menghasilkan "akan" dari ide-ide kita. Nanti, saya akan melakukan itu. hiks..

Saya pun demikian, lebih banyak berkubang dengan ide-ide dan hanya menghasilkan "akan". Lambat laut, ide tak akan jadi apa-apa, tak pernah berbuat apa-apa. Konon, dan saya meyakininya bahwa salah satu solusinya tulislah ide-ide itu. Kalau ia belum bisa menjadi apa-apa, ia bisa menjadi petunjuk bagi siapa-siapa yang membacanya kelak.

Sama seperti ide-ide yang menjadikan kita galau. Maka tulislah!. Tentu kita akan bertanya, Lalu apa bagusnya? Malah bisa semakin membuat galau, kan? Tak ada jalan keluar, hanya dengan menulis!. Eemmm...saya berpikir malah sebaliknya. Menulis setidaknya memacu kita menemukan jalan keluar atau paling tidak hikmah.

Perhatikan beberapa buku yang menulis tentang mengelola galau, apa kita yakin mereka adalah orang-orang yang terbebas dari galau? Tidak juga, justru mereka bisa jadi lebih galau. Tapi bedanya, galaunya mereka tuliskan menjadi gagasan. Lalu kita membacanya, kemudian merasa seperti itu, lalu berkata "oh iya, ya".

Sejatinya, menulis itu momen melepaskan seperti kata eyang penenbacker. Nah, menulis membantu kita menemukan remah-remah ide lalu membekukannya dalam kata-kata. Dalam prosesnya, momen menulis sebagai ekspresi melepaskan sesuatu lalu membangun optimisme baru. Bukankah, untuk mengisi cangkir hikmah kehidupan terlebih dahulu kita harus melepaskan isi cangkir sebelumnya.

Tulislah!, biarkan yang menggalaukan itu terlepas lalu terangkai dalam hikmah yang bisa diambil manfaatnya. Kita tidak pernah tahu, seperti apa kekuatan sebuah kata-kata merubah cara pandang seseorang. Tulislah, jika ia belum mampu menjadi kekuatan saat itu, setidaknya ia bisa menjadi tambatan pikiran-pikiran negatif saat itu lalu kita dapat kembali berjalan dengan optimisme baru.

***
Seperti ilustrasi diatas, saya tengah berkubang dalam ide-ide; tentang kampus, riset, program kehidupan, ekspansi rejeki, hingga pasangan. Tapi kayaknya tak cukup hanya dengan menumpuknya dalam ide, semua perlu "pelepasan" momennya bisa melalui apa saja. Salah satunya dengan, mulai menuliskannya. Tidak disini, mungkin tempat lain.
Mari membersamai mengosongkan cangkir perasaan kita dari hal-hal negatif, tulislah!.

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.