Langsung ke konten utama

Menilai, Memberi Nilai dan Klasifikasi Mahasiswa


Akhir semester begini, selain memberi ujian mahasiswa sebagai dosen, kita juga dituntut untuk menilai dan memberi nilai kepada mahasiswa. Mudah? tentu saja kedengarannya begitu. Namun tidak semua yang enak didengar juga akan enak dilakukan.Kenapa menilai dan memberi nilai begitu men"dilema"kan?

Seperti mengungkapkan cinta, enak didengar memang, tapi ketika akan melakukannya kita butuh energi ekstra untuk menenangkan dada yang bergemuruh, logika yang kacau balau dalam tata bahasa, belum lagi kelenjar adrenalin yang bekerja bersamaan membuat grogi yang tak ketulungan. Begitupun kayaknya ketika bertemu bapak dari gadis pujaan hati yang hendak dilamar, hikss.

Bagi saya dosen yang mencoba menjadi baik bagi siapapun (ini agak berlebihan memang), memberi deretan angka pada berita acara ujian akhir mahasiswa itu serupa tengah bertaruh. Disatu sisi, ingin memberi nilai objektif berdasarkan pencapaian akademik seorang mahasiswa, namun disisi yang lain memberi nilai juga adalah mengapresiasi sikap mahasiswa selama dikelas/ selama bertemu tatap.

Kita akan diperhadapkan atas dua pilihan, kemampuan akademik yang baik namun sikap yang dianggap kurang atau mengedepankan sikap daripada kemampuan akademik. Hal ini serupa memperbandingkan antara, memilih antara memberi apresiasi terhadap kemampuan matematika seseorang namun buang sampah sembarangan atau sikap mereka yang membuang sampah pada tempatnya namun kurang dalam kemampuan matematikanya.

Menilai atau Memberi Nilai ?

Nah, menurut saya ini cukup menguras nurani..hufttt... hehehe. Memberi nilai mahasiswa barangkali mudah saja, itu bawaan semua orang untuk memberi penilaian kepada orang lain (termasuk mahasiswa). Tinggal melihat kemampuan akademiknya melalui  hasil ujian, tugas dan kehadiran dan subjektivitas lainnya kita saja cukup untuk memberikan nilai. Namun untuk memberi nilai, kita butuh multi-perspektif untuk itu. Memberi nilai, berarti juga memberlakukan nalar objektivitas kita. Tidak cukup hanya melihat hasil-hasil yang tertera diatas kertas saja, tapi juga segala hal yang berseliweran dalam setiap interaksi kita dan mahasiswa dalam kelas.

Karena akan sering menghadapi persoalan semacam ini, saya memiliki klasifikasi mahasiswa yang membuat proses memberi nilai dan menilai tersebut menjadi proses yang menantang (untuk tidak menyebutnya proses yang menggalaukan).

Pertama; Tipe mahasiswa yang Ia ada namun tak terlihat. Nah, ada mahasiswa dengan klasifikasi ini. Mereka rajin datang, absennya selalu penuh, jika diberi tugas selalu mengumpulkan. Namun ketika melihat hasil ujiannya, pas-pasan. Belum lagi tentang keaktivan dia dalam diskusi kelompok, ia seperti udara, wujudnya ada komentarnya tidak muncul. Biasanya, kelompok mahasiswa dengan klasifikasi ini yang membuat proses menilai menemu jalan berliku (hupppss). Kehadiran atau Keaktifan sebagai sumber penilaian?.

Kedua; Tipe mahasiswa yang kompetensi akademiknya diatas rata-rata, namun kolom absennya yang kosong (karena tidak hadir) itu juga dibawah rata-rata. Ia mahasiswa yang cukup cerdas dalam membuat argumen tapi untuk mempertanggung jawabkan kehadirannya, tunggu dulu. Bagaimana memberi mahasiswa ini nilai?. 

Ketiga; Tipe mahasiswa yang sekedarnya, maksudnya kuliah hanya untuk memenuhi syarat administratif tertentu seperti misalnya pekerjaannya. Biasanya mahasiswa dengan tipe ini absennya bolong banyak, tugas apalagi, ujian yang diikuti hanya pas ujian akhir saja. Setelahnya, ia melapor ke dosen dan menceritakan tentang kerjaannya yang banyak dan tidak bisa kuliah seperti mahasiswa lainnya. Alasan pekerjaan menjadi senjatanya, mereka pikir kami menjadi dosen dan mengajar dikelas itu sedang bermain-main, bukan bekerja. So...jangan jadikan pekerjaan sebagai alasan tidak masuk kuliah ya, kan sudah memutuskan untuk kuliah sambil bekerja, mestinya sudah bisa diperhitungkan pembagian waktunya.

Keempat; Tipe mahasiswa seribu alasan. disaat mestinya kita belajar pukulan seribu bayangan atau tendangan seribu bayangan mereka justru belajar jurus seribu alasan. mahasiswa tipe ini cukup merepotkan, kalau mahasiswa sekedarnya masih memberi pengghargaan kepada proses perkuliahan dengan datang ujian akhir semester, mahasiswa tipe ini datang menghadap dosen saat ujian telah lama usai bahkan nilai telah diserahkan ke Kaprodi dan di tempel pada papan pengumuman program studi. Alasannya? lebih banyak dan lebih dramatis dari tipe mahasiswa sekedarnya. Katanya, ia ingin memperbaiki nilainya karena diberi nilai E alias erorr. Kadang saya ingin tega bilang kepadanya, "Kalau kita tidak memiliki motor lalu bilang mau memperbaiki motor? lalu apa yang mau kita perbaiki coba?. Sama seperti nilai, mau memperbaki nilai tapi tidak memiliki nilai, lho lalu mau memperbaiki apa? angin?".

Sekarang, kenapa hal ini begitu mendilemakan bagi saya (mungkin kamu...iyaaa kamu...)?. Begini, mungkin ini sedikit narsis, bahwa saya penganut bahwa proses mendidik itu bukan saja menanamkan ilmu pengetahuan kedalam berkas pengetahuan mahasiswa, namun juga menerbitkan inspirasi bagi pengalaman hidupnya di jenjang perkuliahan. Untuk itu memberi apresiasi terhadap kemampuan akademik dan sikap (karakternya) juga perlu, tidak justru hanya berat disalah satunya. Lalu apa tawaran saya untuk solusi, saya pun sedang mempelajarinya dengan proses memperdalam ilmu kanuragan dalam hal ini (hehe..bercanda). Seyogyanya, saya pun masih membutuhkan bimbingan dalam mendalami proses ini.

Sejatinya, apa yang dituliskan disini bukanlah klasifikasi umum, sehingga dapat disematkan pada setiap kejadian anda atau siapapun anda sebagai pengajar atau dosen. mungkin saja, pengalaman dan kondisi yang dihadapi berbeda. Namun, dari ini ada sebuah catatan yang bisa kita terutama saya sendiri save sebagai reminder diri, bahwa nilai berupa angka-angka saja tidak dapat mewakili pencapain seseorang dalam proses belajarnya, termasuk mahasiswa.

Dosennya, pun demikian pula. Tak berhenti belajar, tak berhenti memahami.

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **

Perempuan Yang Menolak Kalah

Lokasi Foto: Pelabuhan Feri Mawasangka, Buton Tengah Seringkali orang-orang hebat itu, bukan berasal dari kilaunya lampu kamera, ramainya kemunculannya pada televisi atau riuhnya sorak sorai orang-orang saat ia muncul. Tapi, kadang kala orang-orang hebat itu berada di tempat yang sunyi, jarang dilewati kebanyakan orang bahkan pada tempat yang seringkali tidak sadari. Mereka terus bergerak, memberi nilai, merubah keadaan dan mencipta keajaiban kecil bagi lingkungannya. Pada beberapa bulan lalu saya berkunjung ke panti asuhan yang sekaligus pesantren Al Ikhlas, Kaisabu. Seperti biasa, turun dari kendaraan saya bertanya pada salah seorang anak disitu. Ustad mana? Ia jawab, di dalam ada ummi. Lalu saya masuk, bertemu ummi. Pertanyaan pertama setelah mengenalkan diri, saya tanya "ummi, ustad mana?". Beliau terpaku sebentar, lalu tersenyum kemudian menjawab "ustad sudah tidak ada". Ada titik bening disudut mata beliau. Saya kembali bertanya,"maksudnya ummi?". ...