gambar disini |
Sederhana,
namun jawaban itu memberikan kita pemahaman, bahwa ketika mengharapkan sesuatu
terjadi pada kita. Maka buatlah sesuatu itu terjadi pada diri orang lain dahulu
oleh perbuatan kita. Seperti efek cermin, kita akan melihat patulan gerakan
yang sama seperti gerakan yang kita peragakan di depan cermin.
Situasi
ini seperti sebuah lelucon kehidupan yang baru saja saya alami dan teman.
Ketika apa yang kita lakukan, karena memang hanya bermaksud menolong orang
lain. Tidak pernah berniat akan diperlakukan apapun oleh orang tersebut, hanya
saja kami ingin belajar lebih dari apa yang diajarkan kepada kami dalam ruang
kelas, untuk kemudian membantu orang lain.
Ceritanya,
ketika hari itu akan ada musyawarah dengan para pedagang di UNS Sunday Market.
Sebuah pasar yang diisi oleh pedagang yang berjualan didepan kampus UNS yang
awalnya seperti pasar tumpah tiap minggu, dan kemudian ada inisiatif untuk
memindahkan mereka kedalam kampus, dengan penataan dan pemberdayaan pedagang
yang diskenariokan oleh panitia. Mungkin kelak saya akan membahas mengenai
pasar ini tersendiri, yang jelas pasar ini sudah berlangsung sejak pertengahan
februari lalu.
Persiapan
musyawarah kami (berdua sama teman tadi) mulai sabtu pagi, karena musyarawah
akan diadakan pada siang harinya. Kebetulan hari ini saya juga sedang libur
kuliah (tanggal merah 25 mei 2013), maka untuk konsumsi kami ke pasar untuk
mempersiapkan beberapa snack untuk pedagang yang akan datang ke musyawarah
tersebut. Kami membeli roti dan air mineral untuk melengkapi musyawarah
tersebut.
Hingga
akhirnya siang, tanpa makan siang kami hanya mencomot beberapa potong roti tadi
untuk kami makan siang itu. Akhirnya musyawarah berlangsung dan selesai dengan
cukup sukses. Walaupun jumlah pedagang yang hadir tidak sebanyak biasanya,
mungkin karena besok itu adalah hari pencoblosan untuk pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Tengah.
Setelah
selesai musyawarah, kami panitia UNS Sunday Market (hari itu sekitar 9 orang)
kembali ke sekretariat. Seperti biasanya kami akan memesankan sayur organik
dari kenalan di Tawangmangu untuk dipakai para pedagang di UNS Sunday Market.
Karena dipasar ini, telah diberikan komitmen kepada para pedagang untuk dapat
menggunakan sayur organik, untuk lebih mengorientasikan pasar ini pada pasar
sehat. Banyak hal yang dilakukan sebagai edukasi pedagang di pasar ini, namun
tidak akan diceritakan disini ada moment khusus untuk itu.
Setelah
magrib hari itu, beberapa teman yang lain pulang kekost maupun kerumah
masing-masing. Karena besok akan banyak kegiatan di pasar UNS Sunday Market,
ada perlombaan mewarnai dan menggambar disitu. Tinggal sekitar 4 orang di
sekretariat malam itu, dan kami mempersiapkan untuk kegiatan besoknya. Saat itu
juga, pesanan sayur organiknya datang dan tentunya kami harus mengantarkannya
kerumah pedagang yang memesan itu.
Malam
itu dalam keadaan sedikit gerimis maka kami mengantarkannya, berdua bersama
teman yang diceritakan diawal tadi. Namanya rofiq orang boyolali, masih muda
namun bagi saya pemikirannya terkadang lebih dewasa dari umurnya. Makanya tidak
jarang dia dikira telah selesai kuliahnya, padahal dia adalah mahasiswa
angkatan 2011 lho.
Cerita
dalam tulisan ini adalah disinilah intinya, ketika kami mengantarkan sayur
kerumah pedagang hujan semakin deras ketika kami sampai di depan rumah si
pedagang tersebut. Niatan awal kami adalah mengantarkannya saja kemudian
langsung balik ke sekretariat, karena kasihan teman hanya berdua di
sekretariat.
Tunggu
sebentar kata si ibu, sambil menyodorkan dua gelas teh hangat. Katanya masih
hujan. Kemudian, Si ibu pedagang berkata akan mengambil uang sayur yang kami
bawa di sebelah rumahnya, sebentar saja katanya, ternyata sekembalinya dengan
membawa dua mangkok mie ayam, hangat.
Haduh,
merepotkan ibu saja. Namun ibunya bilang tidak apa-apa, toh diluar masih hujan.
Biar makan dulu baru kalian pulang. Sekiranya yang saya paham begitu, karena
percakapan dilakukan dengan bahasa jawa (heheheh). Tapi, bukan itu saja kami
disuguhkan namun juga beberapa masakan ibu, katanya minta dikomentari
masakannya yang akan dijualnya. Kami hanya berpandangan dan tertawa, entah
tertawa tidak enak dengan ibunya atau senang karena dapat makan.
Setelah
makan dan bercakap-cakap sedikit, kami minta permisi pulang dan berterimakasih
sudah mau direpotkan ibunya dengan kami. Tapi, ada yang membuat kami tiba-tiba
tertawa ketika cucu si ibu pedagang membaca bukunya. Anak itu keras-keras
berkata “satu ditambah satu sama dengan
nol”. Nah lho??? Kok nol? Sontak semua yang ada disitu tertawa, lalu
diluruskanlah bahwa satu ditambah satu itu adalah dua. Namun tidak untuk dalam
benak saya dan rofiq saat itu, satu di tambah satu adalah nol. Mungkin!.
Dalam
perjalan pulang, walaupun sedikit hujan dan semakin deras ketika mendekati
kampus. Rofiq berbisik kepada saya diatas motor, bang tau tidak? Saat ini,
dompet saya kosong sama sekali. Tadi saya berpikir mau makan apa dan bayarnya
pakai apa nanti ini, tapi tadi sudah makan mie ayam, alhamdulillah!! Rejeki!. Nah,
kok sama? Saya pun bilang hal yang sama, kalau di dompet saya juga mengalami
nasib yang sama dengannya.
Teringatlah
kami dengan kata cucu si ibu pedagang, “satu
ditambah satu samadengan nol”. Lalu saya bilang, berarti sama dong nasib
kita dengan yang dibilang anak tadi, ya fiq? Hari ini kita makannya serba
gratis. Satu kali makan siang dan satu kali makan malam itu sama dengan nol,
alias gratis. Kami tertawa diatas
motor karena ternyata perkataan anak itu ditujukan untuk kami berdua (mungkin).
Makan siang kami hanya dengan beberapa potong roti yang kami beli untuk
pedagang, dan masih bersisa banyak makanya jadi makan sianglah itu.
Namun
mungkin ini yang dinamakan, jika kamu ingin ditolong oleh Allah Swt, maka
tolonglah dahulu saudaramu. Makanya, malam itu perkataan nak itu menjadi
falsafah kami hari itu. sesungguhnya dalam pikiran kami adalah bagaimana bisa
membantu para pedagang tersebut menaikan omset mereka, disamping itu dapat
menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Karena itulah maksud panitia
dalam memberdayakan para pedagang UNS Sunday Market ini.
Sederhana
memang, disaat kita tidak memiliki apa-apa namun tetap berusaha memberi yang
baik bagi orang lain. Bukan berapa materi yang kami dapat dari membantu itu,
tapi sesuatu yang tidak bisa dimaterikan, sebuah bentuk kekeluargaan dengan
para pedagang menurutku adalah sesuatu yang sangat berharga sekali. Bagi saya
yang sebagai perantau di tanah jawa ini untuk berkuliah.
Seperti
itulah kemudian, hari itu kami menutupnya dengan bersyukur kepada Allah Swt.
karena Dialah yang Maha Kaya, Maha Pemberi Rejeki, jika kita yakin dengan hal
itu, lalu kenapa kita mesti ragu dengan rejeki yang sedikit? Asal berusaha,
rejeki itu sudah ada takarannya masing-masing untuk hamba-Nya. Dan tambahan
juga, waktu pulang itu kami diberi bingkisan kantong berisi kerupuk rambak dan
pisang rebus, Alhamdulillah malah berlipat-lipat. Semoga Allah Swt melancarkan
rejeki si Ibu Pedagang dan keluarganya.
Kenapa
saya menceritakan ini?, karena dari pengalaman ini sekali lagi Allah Swt selalu
ada buat hamba-Nya. Aku seperti sangkaan
hamba-Ku terhadap-Ku, firman ini memang sangat bermanfaat bagi siapapun.
Maka berprasangka baiklah kepada-Nya, Dia tidak akan meninggalkan hamba-Nya
yang senantiasa berserah pada-Nya.
Jika
misalnya cerita ini terkesan menceritakan sesuatu yang kita lakukan, maka akan
terjerumus pada adanya ketidak ikhlasan atas sebuah perbuatan. Bagi saya ini
hanya sebagai pembelajaran bagi saya dan rofiq nantinya, tidak ada kesan bahwa
ingin berlebihan menceritakan perbuatan yang dilakukan. Namun, apakah tidak
sebaiknya saya menjadi hamba-Nya yang selalu bersyukur pada-Nya. Menuliskannya
maka akan selalu mengenangnya untuk belajar dan senantiasa belajar.
Satu ditambah satu
samadengan nol, untuk konteks saling membantulah bersama saudaramu.
Surakarta, 27
Mei 2013
Komentar