Gambar disini |
Beberapa
hari sebelumnya juga begitu, mereka selalu berjalan ke dalam kampus untuk
menjual barang dagangannya. Entahlah setiap kali atau bahkan setiap hari jualan
yang dibawa mereka itu laku dan terjual berapa banyak. Atau sekedar bertanya
apakah jualan mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka hari itu.
Namun
apa yang berbeda dari kedua orang tua paroh baya ini. menuntun, mereka selalu
saling menuntun menyusuri jalan setapak sepanjang kampus. Dan biasanya
berhenti dan duduk di tempat yang kini saya melihat mereka. Karena tujuan saya
hari itu adalah ke kantor pos, maka saya cuman menengok sejenak ke arah mereka.
“Ada
seorang ibu yang sedang menawar jualan mereka, Alhamdulillah. Rejeki Allah Swt
itu tak berbatas, Dia Maha Kaya”.
Karena
penasaran, setelah dari kantor pos saya mendekati dua orang tua paruh baya
tersebut. “Ada beberapa ribu kembalian ongkos mengirim tadi di kantor pos”.
Kemudian saya mendekat ke arah kedua orang tua ini, lalu “ini harganya berapa
bu?”. Sepuluh ribu, sapau ini harganya sepuluh ribu. Jawab si ibu. Bapak masih
diam.
Tersenyum,
“saya tidak sedang butuh sapu bu, tapi ini buat ibu saja”. Terimakasih, jawab
si Ibu. Bapak masih tetap diam disebelahnya. Disini saya baru sadar, kalau
tangan si Ibu yang sedang saya jabat ternyata cacat, kelihatannya bawaan lahir.
Sebelumnya, pikir saya ketika melihatnya di jalan, hanya si bapak yang cacat,
ternyata keduanya.
Menuntun,
kembali mereka saling menuntun. Mereka masih tetap ingin berusaha, dengan berjualan
tidak dengan meminta-minta. Dalam keterbatasan mereka masih tetap berusaha,
berjualan. Mereka saling mengisi satu sama lain. Rejeki Allah Swt. itu ada dimana-mana, Allah Swt.
Maha Kaya, namun Dia tidak menyuruh hambanya meminta-minta, tapi berusaha.
Dalam
perjalanan kembali, terpikir bahwa. Apalah keadaan saya sekarang, menggerutu
dengan keadaan, mengeluh dengan situasi atau apalah seolah-olah semuanya
menjadi masalah. Dibanding dengan keadaan dua orang tua paruh baya tadi, apalah
masalah saya? Sangat jauh, bahkan mungkin saya jauh berada dibawah semangat
mereka.
Kita
tahu Allah Swt. itu Maha Kaya, namun kita selalu luput untuk menyadari atau
terus menyadari hal itu. karena memang manusia itu diciptakan penuh keluh
kesah, namun tetap diseru untuk mengubah nasib sendiri sebelum nasibnya dirubah
oleh-Nya. Belajar dari dua orang tua paruh baya, berusaha tetap berusaha bahkan
ditengah-tengah keterbatasan.
Dua
orang tua paroh baya, si Ibu yang kedua tangannya cacat, tak bisa menggenggam,
dan si Bapak yang buta. Mereka saling melengkapi, yang sati sebagai tangan yang
satu sebagai mata yang dipakai untuk mereka berdua. Hari ini kedua hamba Allah
ini sedang menjawab apa yang difirmankan oleh Allah Swt.
“summa radadna
huasfasafilin (At-Tin:4)”
Dan
“layukalifullaha nafsan illa us’aha
lahamaktasabat wa alaiha maktasabat (Al-Baqarah: 286).
Lalu,
kita yang sempurna dalam hal bentuk dan keadaan fisiknya. Dengan mudah
menyerah??
Atau
kita punya pandangan lain dengan dua orang paruh baya ini?
Maukah
kita menjadi tangan dan mata bagi pasangan kita? Atau untuk orang lain yang
membutuhkan.
Ingatlah
Allah Swt. Maha Kaya...
Komentar