Mace Sani, seorang
penjual makanan di kantin bawah tanah Fakultas Ekonomi UNHAS. Entah kenapa
tiba-tiba saya teringat sama mace yang satu ini, mungkin karena tadi saling
komentar status FB teman yang membahas menganai tanggal tua dan Indomie. Mahasiswa
tentunya lekat sama yang namanya Indomie, selain murah cukuplah untuk membentuk
perasaan kenyang di perut.
Mahasiswa memang tak
pernah diperhadapkan dengan tanggal muda maupun tanggal tua, semuanya menurutku
sama saja. Hanya saja, akan berbeda dengan bagaimana kita menanggapi posisi
sekarat tersebut. Waktu kuliah di Unhas pada Jurusan Politik Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Keadaan sekarat pada akhir bulan rutin
dijalani, bahkan pernah tinggal 1000 rupiah uang dikantong. Dan sasaran empuk
adalah kost teman, organisasi, pilihan terakhir adalah air galon. Mengenyangkan
perut dengan air saja, hehehe.....untuk pilihan kedua diatas, tidak sepenuhnya
juga begitu, tapi salah satu hal menguntungkan dalam berorganisasi adalah bisa
makan bareng dan cukup hemat.
Kembali ke persoalan Mace
Sani, salah satu pelarian kalau lagi dalam keadaan sekarat adaah di Mace Sani ini.
makan boleh utang dulu, itupun makanannya ambil sendiri jadi porsinya bisa
sekaligus makan siang dan makan malam (hanya orang-orang tertentu saja yang
boleh menyendok makanan sendiri). Itulah Mace Sani, orangnya baik juga sedikit
cerewet dan juga agak kurang dalam pendengaran. Kami seringkali bercanda dengan
dia, yaa...mungkin karena cerewetnya dia makanya nyambung dengan kita. Apalagi kadang-kadang
yang dia bicarakan agak tidak nyambung maksud dan tujuannya kemana, mungkin
karena kurang pendengaran tadi atau kurang “penuh” heheh...
Begitulah Mace Sani,
kadang ketika kantong menipis kita bisa saja makan gratis. Caranya menemaninya
cerita hingga sore menjelang tutup, biasanya ada makanan yang tidak terjual,
nah biasanya ini menjadi santapan kita lah heheh....(ide briliant). Biasanya kalau
mau pulang dan melihat kita masih nongkrong. Mace Sani bilang “makan moko, ndak
adami juga pembeli..ndak usah moko bayar ki”.
Mace sani memberi
kesan, tapi selalunya kita datang mengerjainya. Makanya ketika lapar selalunya
datang ke tempat dia. dia pun tahu kalau misalnya ada kita lagi dapat beasiswa,
karena pasti menu makannya berubah. Nasi telor atau nasi goreng bisa berubah
menjadi nasi ayam trus pake jus. Hehehe...!. atau pas habis menerima kiriman,
pasti makannya agak “berbobot”. Kalau ada teman yang ulang tahun pun begitu,
pasti makannya di mace sani.
Padahal sebelumnya,
kami selalu makan di kantin ramsis. Mungkin karena waktu itu kami masih
Mahasiswa Baru dan agak segan untuk
makan bersama senior di kantin kampus. Makanya larinya ke kantin ramsis depan
fakultas. Nah, semenjak perkenalan dengan Mace Sani-lah akhirnya hati ini
tertambat oleh warungnya (lebay). Bahkan hingga akhirnya kuliah selesai dan
wisuda, saya ingat kalau Mace Sani saya cantumkan di kata pengantar skripsi
saya.
Mace Sani dan
warungnya, adalah barisan penyelamat perut jika sedang kantong sekarat
(mahasiswa kan). keuntungan makan disana adalah Bisa ngutang, boleh makan
gratis (kalau mace lagi senang), atau boleh lupa membayar dan saya sering
melakukan ini, mudah-mudahan semuanya sudah dilunasi (seingat saya begitu).
Pernah malah Mace Sani ke
Kendari dan dia menelepon saya, katanya mau ketemu. Padahal diawal saya kasih
tau kalau saya di Baubau, dan jauh dari kendari. Di kendari katanya ada
saudaranya disana dan dia datang berkunjung ke saudaranya. Mungkin dikiranya Baubau
dan Kendari itu sama saja karena sama-sama Sulawesi Tenggara.wadohh.... Pas
ketemu di kampus setelah dia pulang dari Kendari, hanya tertawanya yang besar
saja dia nampakkan, dengan logat Makassar dia bilang, “saya kira ko di kendari,
makanya kutelpon ko? Jauh ki ka, kampun mu dengan Kendari? Ahahahaha....
Mace Sani, Mace Sani....semoga
kamu sehat disana, terimakasih atas suguhan makanan, dan keramahan juga toleransi
pembayarannya ya....heheh J
Surakarta, 26 Desember 2012
Komentar