Langsung ke konten utama

Seorang Nenek dengan Keranjang Jualannya



Minggu kemarin saya berniat ke jogjakarta mengunjungi saudara yang kebetulan berkeluarga dan bekerja di sana. awalnya memang saya tidak tahu menahu tentang keberadaan mereka disana. namun melalui jejaring facebook akhirnya saya ketemu deh. padahal sudah hampir lima bulan berada di solo (tetangga dekat jogja), danseringkali juga jalan ke jogja namun tidak tahu bahwa ada keluarga disana. sekali lagi saya mesti berterima kasih kepada jejaring sosial ini. namun dalam tulisan ini tidak untuk membahas itu, namun seorang nenek penjual makanan ringan di stasiun solo balapan.

Ada sebuah pembelajaran berharga disini. tapi sebelumnya saya menganalogikannya dalam pertanyaan. ketika kita bertemu seorang ibu pengemis dengan menggendong anaknya di jalan, kemudian menyodorkan tangannya ke kita. apakah hati kecil kita tersentuh dengan itu? saya jujur menyatakan awalnya iya, saya kadang mengutuk pemerintah yang tidak "sempat" memperhatikan mereka.tapi hari itu, bertemu dengan seorang nenek di stasiun sedang menjinjing jualannya. saya kembali harus berpikir ketika ada seorang ibu yang datang menyodorkan tangannya. saya selalu bilang kepada diri sendiri, ketika kita belum bahagia, belum berhasil, belum bisa keluar dari masalah janganlah menyalahkan orang lain karena kita masih punya "pilihan". bukankah itu anugerah Allah Swt kepada manusia?.

Lalu dimana sebuah pelajaran itu. nah ketika kita membandingkan antara seorang ibu dan nenek mana yang masih punya pilihan untuk tidak "meminta-minta"? tentunya faktor seperti kekuatan dan kesehatan akan lebih dipilihkan ke sang ibu. seorang ibu dengan anaknya tadi tentu masih memiliki pilihan untuk tidak "meminta-minta" dia masih punya tenaga dan kesehatan untuk bisa berusaha. disini saya teringat dengan perkataan, lihatlah dari sisi yang "ditinggalkan" jangan dari sisi yang "meninggalkan". dalam hal ini jika kita kaitkan dengan pemerintah yang meninggalkan rakyatnya seperti itu, kemudian kita balik logikanya dengan melihat yang ditinggalkan, bukankan kita masih punya pilihan untuk tidak "meminta-minta"? masih banyak cara untuk bisa hidupkan? tidak dengan meminta-minta? bukankah Allah membenci hambaNya yang pasrah, malas, dan tidak mau berusaha? bukankah Islam mengajarkan kita menjadi pribadi yang positif thingking?



Seorang nenek yang saya temui ini, dengan menjinjing keranjang jualannya menjajakan jualannya ke tiap orang yang sedang duduk menunggu jadwal kereta api di stasiun maupun yang sedang mengantri tiket. termasuk saya nenek itu menawari, namun saya tidak sempat membeli makanan jualan nenek itu. di saat itupun saya bersalah sebenarnya, entahlah saya berada diposisi mana ketika saya membeli jualan si nenek karen iba dengannya dan tentunya tidak memakannya dan menjadikannya mubazir atau saya tidak membelinya, apdahal dengan itu saya bisa membantunya. satu pelajaran!

Tapi bukan itu saja, pelajaran lainnya adalah. si nenek ini dengan gendongan keranjang jualannya itu berjalan sempoyongan layaknya tidak kuat untuk menahan berat keranjang jualannya. tapi si nenek tetap berusaha untuk bisa menjual, setidaknya dia mengajarkan pada kita bahwa di usianya yang sudah cukup tua dan mestinya duduk dirumah dan bermain dengan cucunya. hari ini dia tetap berusaha untuk mencari penghidupan untuknya, entahlah dirumah si nenek nanti ada anak atau cucunya yang ikut dibiayai olehnya.

Kembali ke seorang ibu yang seringkali kita temui di jalan ataupun dipasar. saya jadi sedikit jengkel dengan mereka, beginikah kita?. padahal mereka masih memiliki pilihan untuk bekerja yang baik, masih punya kekuatan, kesehatan dan kesempatan namun kenapa meminta dijadikannya sumber pencahariannya? terlepas dari penjelasan teman saya terkait bagaiman aset yang dimiliki oleh pengemis perkotaan tersebut di daerahnya. mereka itu orang2 yang tidak mempunyai atau hilang pilihan menurutku. sudahlah lupakan mereka ibu-ibu itu, mungkin kelak ketika saya bertemu dengan ibu tadi akan kuceritakan tentang nenek ini. tapi ini tentang saya yang belajar, bukan tentang ibu ini.

Seorang nenek memberiku pelajaranm di usianya menjelang senja, dia masih punya kekuatan yang besar untuk tetap berusaha mencari penghidupannya. saya yang masih muda dan masih punya pilihan, kesempatan dan tenaga dan menyerah dengan keadaan?. padahal si nenek tetap dengan keberadaannya. terima kasih nek...

Pertemuan dengan nenek itu berakhir ketika, ada pengumuman di speaker stasiun kalau kereta api prameks (prambanan ekspress) akan segera tiba. seorang nenek dengan keranjang jualannya. memberi pelajaran "memberi karena dirimu sendiri yang "kasihan" terhadap seseorang atau memberi karena Ikhlas dan mengharap ridho Allah swt". karena bukan tidak mungkin ketika kita memberi itu bukan untuk menyelamatkan hidup seseorang tapi mengajarkannya menjadi orang yang pasrah akan hidupnya. berdosakah saya? biar Allah swt yang mengukurnya. wallahualam


gambar diambil :

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.