Langsung ke konten utama

Sebuah Kenyamanan


Apa arti sebuah kenyamanan bagi mu? Atau mungkin bagi sebagian orang?
Standarisasi nyaman bagiku dan bagi orang lain ataupun bagi sebagian lainnya apakah sama?
Terus apa maksud sebuah agenda pemerintah, swasta atau pihak lainnya yang menyatakan inilah sebuah kenyamanan bagi anda?
Apakah sebuah kenyamanan ditentukan oleh pemegang status quo untuk secara tidak langsung bahwa inilah sebuah kenyamanan?
Sebenarnya kenyamanan adalah hal yang sederhana, bagiku. Karena dengan duduk bersandar dan dapat membuatku betah untuk duduk disitu berlama-lama, itu bisa saya anggap sebagai kenyamanan itu.
Tapi apakah orang lain yang akan duduk disitu akan mengatakan hal serupa tentang kenyamanan yang saya rasakan? Tentu saja tidak. Ini kan persepsi saya.
Ada sebuah pelajaran penting yang saya dapat beberapa hari lalu ketika melakukan sebuah perjalanan melihat-lihat di beberapa tempat di daerah saya. Satu keluarga yang tinggal di sebuah rumah yang sudah cukup tua setua umur mereka bahkan lebih mungkin. Mereka seakan tidak merasa tertekan tinggal dirumah tersebut, boleh dibilang rumah ini dibawah standarisasi pemerintah tentang rumah sehat. Dengan kondisi rumah yang hanya berlantaikan semen kasar bahkan ada beberapa ruangan yang hanya berlantaikan tanah, dinding yang terbuat dari kayu papan yang sebagian besar terlihat raut-rautan yang dibuat oleh rayap. Dalam benakku mungkin ketika malam dinginpun, rumah ini tidak dapat memberikan banyak kehangatan untuk seisi rumah ini. Tapi untuk wujud syukur mereka terhadap rumah mereka ini sungguh membuat perasaan ini terkagum-kagum.
Wujud syukur mereka yang menurutku sungguh luar biasa ini, membuat pikiran ini kembali kesuatu waktu dibelakang dimana ketika hati ini seakan tidak ikhlas tinggal di rumah sendiri karena kecil dan tidak semegah rumah-rumah para tetangga. Memang untuk standarisari pemerintah untuk kategori rumah sehat, rumah saya masuklah bahkan ketika dinilai mungkin saja melapaui nilai targetan standar tersebut walaupun cuman dilihat dari luarnya saja.
Lalu ada apa dengan sebuah kenyamanan? Ketika saya dipersilahkan masuk mereka sungguh sangat merendahkan diri mereka mengatakan Bahwa beginilah rumah mereka, berantakan, kotor, dan lain sebagainnya walaupun memang kelihatannya tidak begitu berantakan, kotor seperti yang dia katakan tadi, ini salah satu poin kesyukuran mereka terhadap rumah mereka, dengan menjaganya!. Namun ketika saya membuang kata nyaman juga disini (karena ada hembusan angin sepoi-sepoi yang masuk menerobos lubang-lubang dinding mereka). Mereka langsung menyergah dengan sangat merendah sekali lagi. Beginilah rumah kita yang miskin ini, nak. Kita nyaman tinggal disini walaupun rumah ini sudah tua tapi kita bangun dengan usaha sendiri, begitu gumamnya. Sebuah kebanggaan tersendiri yang secara tidak langsung dikatakannya kepada saya. Sekali lagi saya sungguh-sungguh merasa kurang bersyukur dengan apa yang saya dapatkan, bagaimana tidak mereka yang dengan keterbatasannya ini merasa sangat nyaman tinggal dalam keterbatasan itu.
Lalu ada apa dengan sebuah kenyamanan? Mungkin bagi sebagian orang rumah mereka adalah kumuh dan tidak layak untuk dikatakan sebuah kenyamanan. Dalam perjalanan pulang saya melihat sebuah spanduk reklame sebuah perumahan yang menggunakan tema “kenyamanan” dengan berbagai fasilitas yang ditawarkannya ini,itu dan ini sehingga mereka mengatakan inilah sebuah kenyamanan. Ketika suatu kenyamanan distandarisasikan terhadap sesuatu maka itu akan membuat sebuah keterbatasan dalam kenyaman itu sendiri atau bahkan akan mereduksi arti sebenarnya dari suatu kenyamanan?
Menurutku kenyamanan adalah sebuah penerimaan sebagai sebuah wujud syukur atas apa yang telah kita dapatkan dengan usaha kita sendiri, dan menerima segala kekurangan dan kelebihannya sebagai wujud menuju kesempurnaan manusia, karena tidak ada manusia yang sempurna sebagaimana kesempurnaan itu namun manusia dapat menuju sebuah kesempurnaan. Mungkin representasi keluarga miskin tadi menjadikannya mereka adalah manusia yang sedang menuju suatu kenyamanan yang akan membawa mereka pada sebuah kegahagiaan. Menurut Jalaludin Rahmat kebahagiaan itu adalah mengurangi keinginan-keinginan kita. Atau yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi bahwa dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia namun tidak cukup untuk memenuhi keserakahan manusia.
Cinta pun menurutku adalah suatu kenyamanan, dengan kita merasa nyaman disisi sang kekasih kita akan bisa menerima kekurangan dan kelebihan sang kekasih sebagai sebuah kencenderungan manusia yang memang dapat saja khilaf. Tentunya kenyamanan yang disertai rasa syukur terhadap yang memberi nikmat ini akan menjadikan kita orang yang besar hati. Seperti yang dilakukan oleh keluarga miskin tadi. Bukannya seperti kenyamanan yang ditawarkan oleh kursi kekuasaan. Sebuah kenyamanan duniawi yang bisa saja ketika kenyamanan itu menjadi sebuah keegoisan hati dapat menjadi penutup hati terhadap jiwa kesosialan manusia kita. Intinya bahwa dengan kenyamanan memang berbeda pada setiap orang namun dengan wujud syukur atas nikmat yang di berikanNya itu dapat membuat hal ini menjadi sama. Setidaknya kita bisa belajar arti sebuah keikhlasan kepada mereka tadi sebuah kenyamanan dalam keterbatasan dan kesyukuran dalam kekurangan.

…Jaya…(Njangkroeng!)
Bau Bau, 5 April 2010

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.