Langsung ke konten utama

महासिस्वा Tranformatif

Tulisan ini adalah original dari saya sendiri dan pernah dimuat dalam buletin identitas kampus unhas...

MAHASISWA TRANSFORMATIF


Slogan yang selalunya tertempel pada mahasiswa yakni agent of change, social control dan moral force, semestinya menjadi pertanyaan besar yang saat ini pasca reformasi, dimanakah kini representasi intelektual masyarakat ini. Sudah menjadi objek pandangan kita sehari-hari mengenai perilaku mahasiswa yang kemudian ditanggapi negative oleh masyarakat seperti misalnya tawuran atau pun demonstrasi yang berakhir ricuh dan lain sebagainya. Menggugat entitas keberilmuan mahasiswa hari ini memang perlu diperhatikan lebih serius dan aktualisasi keilmuan mahasiswa akan ditujukan untuk apa, siapa dan bagaimana?.
Dunia kemahasiswaan sekarang memang terjebak dalam sebuah mainstream berpikir pragmatis dan tidak mau tahu (skeptis), tapi jangan kita menjustifikasi itu sebagai keseluruhan mahasiswa sekarang dan mungkin saja ada sekelompok yang masih menyadari dirinya merupakan bagian dari masyarakat. Sikap apatisme yang muncul misalnya akibat mahasiswa tidak mengerti posisinya (lost position) di dalam masyarakat, mahasiswa kemudian ikut terbawa dalam derasnya arus hegemoni yang kemudian membawanya kedunia materialisme yang secara tidak langsung memebentengi dirinya dengan masyarakat disekitarnya.
Mahasiswa hari ini hanya sekedar slogan sebagai sebuah jalan menuju gelar kesarjanaan saja. Seakan-akan mereka lupa akan diri mereka sebagai seorang cendekiawan dan intelektual di dalam masyarakatnya. Melihat geliat dunia mahasiswa sekarang seperti telah terjadi peyimpangan yang sangat jauh dari entitas yang tertempel pada predikat kemahasiswaanya. Setidaknya menurut penulis ada beberapa permasalah yang melilit dan membudaya di ranah mahasiswa sekarang, misalnya saja krisis kritisisme mahasiswa, budaya hedonisme, egois, onani otoritas/ intelektualitas serta hilangnya karakter mahasiswa.
Krisis kritisisme, menjadi pengkritik memang pekerjaan yang paling mudah namun dikalangan mahasiswa hari ini yang kurangnya sikap kritisisme disebabkan oleh adanya sikap apatisme memandang masalah atau kejadian yang telah menimpa negeri ini, mahasiswa hanya mengurusi hal-hal yang bersifat pragmatis tanpa memikirkan efeknya di masa depan, yang kemudian hal ini akan melahirkan pandangan yang over generalisasi karena mahasiswa memandang sesuatu itu hanya dari luarnya saja tanpa adanya analisa yang mendalam terhadap itu, misalnya ketika melihat salah satu anggota kelompok/organisasi maka dia mengatakan organsasi itu seperti itu pula ada logika yang salah disini. Ada hal mengenai ”pengkultusan” mahasiswa senior oleh mahasiswa junior sehingga apa yang dikatakan oleh si senior sebagai sebuah kebenaran dan kemutlakan sehingga harus diikuti padahal kita tidak menyadari setiap zaman punya warna sendiri.
Budaya Hedonisme, Globaisasi adalah sebagai sebuah ritus kemoderanan dalam pergaulan mahasiswa dan tanpa adanya penyaringan ataupun pembacaan secara utuh terhadap hal ini yang akhirnya baik buruknya mitos yang dinyatakan sebagai simbol ”modern” tersebut terserap begitu saja di kalangan mahasiswa, inilah akibat kurangnya kritisisme mahasiswa tadi. Mahasiswa lebih enak berbincang tentang trend model baju impor terbaru ketimbang diskusi yang membangun wawasan sehingga mahasiswa tertutup dari informasi terbaru mengenai keilmuannya dan teknologi.
Egois, Satu hal yang mungkin ini bukan saja dari anggapan penulis saja mengenai fakta bahwa mahasiswa sekarang terjebak dalam sindrome egoisme diri ataupun golongan yang berlebihan bahkan dalam kampus sendiri fenomena melebih-lebihkan fakultas, jurusan ataupun program studi sebagai yang terbaik dan yang lain hanya sampingan saja. Sehingga hal ini melahirkan kader-kader fakultatif yang tidak mampu membangun kondisi dialogis bersama dalam satu payung bersama dan inilah kemudian yang mencapai titik akumulatif puncaknya dalam tawuran ataupun yang sejenis dari itu, sehingga mahasiswa seringkali mempertentangkan hal-hal yang tidak substantif dan mengada-ada. Inikah potret mahasiswa sekarang yang kita inginkan?.
Onani Otoritas/Itelektualitas, pernahkah kita rasakan sebagai mahasiswa ketika seorang mahasiswa yang mengikuti sebuah organisasi misalnya dan mengikuti beberapa aksi sehingga seolah-olah predikat aktivis itu tertempel di dadanya kemudian dia merasa berbeda dengan yang lain dan selalu merasa paling benar serta kebanggaan yang berlebihan sebagai aktivis walaupun tanpa aksi nyata. Onani intelektualitas kemudian menjadikan kita tidak dapat menerapkan ilmu yang kita miliki dan mahasiswa seakan menjadi lebih banyak bicara daripada penerapannya.
Hilangnya Karakter, Mahasiswa merupakan cerminan dari perilaku masyarakat disekitarnya dan apabila terjadi kesemrawutan di dalam diri mahasiswa menjadi citra bagi masyarakat. Sebuah kondisi yang mencerminkan hilangnya karakter mahasiswa sekarang, sepertinya mahasiswa telah jauh dari sikap jujur, adil, santun dan beretika terhadap lingkungannya baik itu terhadap sesamanya ataupun orang yang lebih tua darinya. mahasiswa hanya dianggap preman baru, kritikus ulung krisis solusi, banyak bicara sedikit kerja, malas, anarkis, egois dan seenaknya saja. Apakah ini cerminan masyarakat intelektual ini yakni mahasiswa sekarang?

Mahasiswa Transformatif


Persoalan kita sekarang adalah bagaimana menjadi seorang mahasiswa yang dapat menjadi seorang cendekiawan dan intelektualitas di dalam masyarakat serta memiliki nilai nilai kemanusiaan tanpa kemudian meninggalkan pencarian ilmu pengetahuan, bagaimana kemudian mahasiswa menjadi sebuah harapan baru dalam tatanan sosial bangsa ini yang sekarang kering inspirasi dari pemuda terbaik bangsa. Inilah yang menjadi keinginan penulis mengenai terciptanya suatu mahasiswa transformatif yang bukan hanya menjadi pajangan etalase lulusan perguruan tinggi atau tercantum dalam tabel lulusan sarjana namun kemudian dapat turun kemasyarakat dan membantu memecahkan masalah-masalah sosial di dalamnya. Seperti yang diungkapkan oleh Ali Syari’ati: menegaskan dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat, yaitu para pemikir tercerahkan (rausyanfikr). Mungkin inilah yang kita butuhkan sekarang mengenai mahasiswa yang dapat menjadi pelita di masyarakat, serta dapat mejawab tantangan zaman yang ada terutama berkaitan dengan mahasiswa hari ini.
Tetapi baiklah persoalan kita sekarang bagaimana merumuskan suatu mahasiswa tranformatif yang kemudian dapat diterima oleh masyarakat, maka dari itu kita membutuhkan suatu instropeksi diri dan pembentukan karakter mahasiswa yang tentunya dimulai dari diri sendiri dan kepada orang lain. Kalau dalam teorinya Gramsci yang membagi intelektual kedalam intelektual tradisional dan intelektual oraganik.Penulis memang setuju dengan ini namun perlu ditambahkan mengenai intelektual profetik yang mewarisi perjuangan nabi dan rosul sehingga dapat membentuk karakter tangguh mahasiswa nantinya.
Intelektual profetik ini kemudian penulis terinspirasi dari pemikiran Kuntowijoyo tentang gerakan profetiknya (Gerakan kenabian) dan ini mungkin bisa saja diterapkan ke dalam dunia kemahasiswaan sekarang, bagaimana sang revolusioner sejati Muhammad SAW membawa umatnya dari zaman jahiliyah ke dalam zaman yang terang benderang dalam nikmat Islam. ada beberapa pokok pikiran untuk membentuk mahasiswa transformatif ini dan mesti tertanam kokoh dalam diri seorang mahasiswa yakni: Humanisasi, Liberasi dan Transedensi.
Pertama humanisasi adalah memanusiakan manusia, mahasiswa semestinya sadar akan posisinya di masyarakat sebagai apa sehingga mahasiswa transformatif kemudian dapat mengerti dirinya sebagai manusia yang pada hakikatnya adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan timbal balik terhadap orang lain, intinya adalah humanisasi ini bagaimana mahasiswa dapat bersama-sama berjuang dengan masyarakatnya.
Tujuan liberasi adalah pembebasan, dimana mahasiswa transformatif sebagai masyarakat intelektual dan cendikiawan tampil sebagai penyadar masyarakat yang terjebak dalam kesadaran naif dan memandu massa dengan mengidentifikasi masalahnya dan secara bersama-sama membebaskan diri dari belenggu kebodohan, ketimpangan, kemiskinan dan ketidakadilan.
Transendensi adalah kesadaran keberagamaan (religius). Tentunya untuk mendapatkan pencapain maksimal dari humanisasi dan liberasi tadi kita mesti menyadari diri kita sebagai seorang hamba di hadapan Allah swt. Hari ini dimana kita seakan-akan tertunduk kepada arus hedonisme, materialisme dan budaya pragmatisme, sehingga dengan budaya transendensi kita merasakan kekuatan Illahi dalam hati dan kita merasa terbebas dari ruang dan waktu yang seakan membatasi karena Allah SWT selalu ada bersama kita di hati dan raga kita (Tauhid), inilah yang kemudian dapat menjadi pembentuk karakter mahasiswa yang kuat untuk membawa masyarakat keluar dari kondisi sosial yang tidak stabil dan membelenggu ini.
Mahasiswa transformatif yang berangkat dari nilai nilai profetik (kenabian) yang melandaskan dirinya pada prinsip untuk melakukan perubahan sosial. Jadi, bisa dikatakan bahwa dalam gerakannya mahasiswa transformatif hampir mirip dengan gerakan anti kekerasan, humanis kritis yang merefleksikan secara kritis terhadap realitas sosialnya dengan ragam bentuk struktur dan kultur sosialnya. Dengan berlandaskan sebuah realitas otonom maka seorang mahasiswa tranformatif dapat mengkritisi realitas sosial tersebut, kemudian dengan analisa dalam berbagai paradigmatik dan secara objektif sehingga mahasiswa dapat turun langsung ke masyarakat melakukan perubahan sosial. Disamping itu mahasiswa transformatif akan mampu memberikan solusi alternatif bagi masyarakatnya untuk menghadapi dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama itu sendiri dengan dunia global.
Gagasan mahasiswa tranformatif hanyalah salah satu model rekomendasi yang penulis tawarkan dimana terciptanya mahasiswa yang tidak mengenal kata akhir dan merupakan proses yang tidak berhenti alias terus menerus, suatu yang “commencement”, yaitu selalu “dimulai dan dimulai lagi” atau menurut Freire, tidak boleh mandek atau berhenti pada suatu titik kemapanan, ia harus terus berproses, mekar dan berlanjut dari satu fase-kefase berikutnya, dari tingkat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran kritis” dan pada akhirnya mampu mencapai tingkat kesadaran paling tinggi yaitu kesadaran-kesadaran (the consice of the consciousness). Kemudian mahasiswa tranformatif ini dapat menciptakan kediriannya yang adil, jujur,santun dan manusiawi yang selalu diajarkan dalam nilai nilai agama Islam, Wallahu A’lam Bish-Shawab.


* Dimuat dalam Identitas No.716/Tahun XXXV/ Edisi Awal November 2009

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.