Langsung ke konten utama

Bangga Pesta dan Sampah

Sebuah prestasi yang sudah cukup lama belum singgah di Kota Baubau, Adipura beberapa waktu lalu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Pemerintah bahkan mungkin bagi masyarakat Kota Baubau. Predikat sebagai kota yang bersih, tentu melekat dari penghargaan adipura ini. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah prestasi ini adalah tujuan akhir?

Disisi lain, menyoal kebersihan kota bukan saja karena tertata rapinya lingkungan Kota Baubau saja, namun sejumlah indikator lainnya turut melekat didalamnya. Piala adipura adalah bagian dari apresiasi saja, untuk kemudian keberlanjutannya ditandai dengan derajat pengetahuan masyarakat tentang kebersihan, bukan?. Saya pikir itu lebih substantif sebagai jawabannya.

Nah, baru saja peringatan tahun baru 2016 berlalu, seperti lazimnya bukan saja di masyarakat kota baubau, namun di masyarakat dunia juga melakukakannya, pesta tahun baru!. Kita tidak ingin membahas tentang pesta ini, namun apa yang disisakan oleh pesta. Kegembiraan, Kemeriahan, Keceriaan, Antusiasme, Kebisingan, Kembang Api, Terompet, atau sejenisnya yang bisa kita liat, barangkali sudah lazim dilakukan berulang. Namun ada hal yang lebih menarik dibahas, bahwa pesta selalu meninggalkan sampah.

Sampah adalah bagian tidak terpisahkan dari sebuah pesta, namun seringkali bukan menjadi fokus utama dari sebuah perayaan pesta tersebut. Ada kaitannya tulisan ini dengan prestasi Adipura yang Kota Baubau peroleh beberapa waktu lalu, sepanjang yang saya tahu follow up perolehan Adipura hanya sebatas baliho ucapan selamat kepada Pemerintah Kota Baubau. Padahal sejatinya prestasi itu bukan tujuan akhir, namun awalan untuk kemudian mempertanggung jawabkan predikat tersebut setelahnya.

Lalu bagaimana? Kita bisa perhatikan setelah perayaan tahun baru kemarin, sampah menjadi sisa kemeriahan pesta. Sampah adalah bagian yang dapat kita amati secara langsung. Sampah bertebaran dimana-mana, namun disaat yang sama tempat sampah yang disediakan tidak terlalu penuh berisi. Kesadaran masyarakat tentang kebersihan belumlah menjadi kebiasaan (habit), yang secara tidak langsung predikat adipura oleh Kota ini dipertanyakan. apakah Adipura adalah benar-benar prestasi yang perlu dibanggakan?

Kita bisa berkaca pada daerah lainnya tentang ini, Bandung, Balikpapan, Manado dan beberapa daerah lainnya di Nusantara. Banyak hal yang bisa dilihat lalu kemudian dijadikan standar ukuran bahwa predikat Adipura yang diperoleh Kota tersebut memang sudah tepat. Bukan saja membangun serangkaian sarana dan prasarana untuk menunjang kebersihan Kota, namun kebiasaan di tingkat masyarakat juga perlu menjadi perhatian.

Sekarang, memang tidak ada yang perlu dipersalahkan tentang karakter tentang kebersihan ini. Karena seperti apapun kebijakan yang di buat, ketika tidak diiringi oleh keteladanan sebagai contoh dan kesadaran sebagai motor perubahan, belumlah cukup untuk membentuk habitus masyarakat yang sadar akan kebersihan.

Membangun Solusi
Beberapa fasilitas penunjang wajah perkotaan memang tengah dibangun oleh Pemerintah Kota Baubau, ini positif sebagai bagian dari penataan Kota sekaligus memerindah penampilan Kota. Namun kita juga perlu sadari bahwa, segala fasilitas yang dibangun tentu butuh ada yang merawat, dan ini bukan tanggung jawab pemerintah semata, namun juga masyarakatnya.

Jika demikian, tentu kesadaran juga perlu ditanamkan kepada masyarakat kita. Kebersihan bukan saja persoalan membuang sampah pada tempatnya, namun jauh dari itu adalah kebersihan itu menyangkut karakter masyarakat. Kurangnya kita adalah pembentukan karakter pertama generasi muda, yakni sekolah. Kondisi yang ada belumlah menyediakan atau setidaknya mengajarkan pentingnya kebersihan. Kalaupun ada, paling itu adalah bagian dari “waktu senggang” siswa dan dipakai untuk kerja bakti.

Sederhananya begini, pernahkah di sekolah ada mata pelajaran khusus yang menyangkut kesadaran menjaga kebersihan?. Paling yang kita temui adalah disaat kerja bakti, biasanya para siswa diperingatkan untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanya, karena pelajaran akan dimulai. Ini mengindikasikan bahwa persoalan kebersihan bukan lah mata pelajaran bukan?. Selain dari itu memang kita butuh keteladanan.

Setidaknya dengan adanya pemimpin yang memiliki teladan akan lebih mudah menyampaikan kampanye tentang kebersihan. Memang belum ada data pasti berapa kubik banyaknya sampah tahun baru, atau berapa kubik sampah Kota Baubau tiap harinya. Tapi setidaknya, menyelipkan pidato yang mengajak masyarakat untuk ikut bergerak bersama pemerintah dalam soal kebersihan, akan lebih baik ketimbang pidato mengenai pembangunan yang dilakukan, atau rangkaian prestasi yang terus dibanggakan.

Piala Adipura itu symbol, lalu terus-terusan dibanggakan. Kita lupa sama sesuatu yang lebih substantive yakni karakter masyarakat yang mau menjaga kebersihan. Kita masyarakat lalai, pemerintah pun demikian. Oleh karena itu, seyogyanya persoalan kebersihan adalah tanggung jawab bersama.

Kita mungkin boleh berbangga dengan prestasi kita, boleh sesekali berpesta namun tetap memperhatikan orang lain, lingkungan sekitar, norma yang berlaku, termasuk sampah yang akan menjadi sisa pesta yang dilakukan. Kampanye paling sederhana yang bisa dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang kebersihan adalah tanggung jawab bersama.

Tentu menumbuhkan kesadaran bukan dengan menunggu, namun member keteladanan. Jika Pemerintah mengimbau masyarakat menjaga kebersihan, disaat yang sama setiap stakeholder, pejabat daerah, dan komponen pegawai negeri sipil juga turut serta didalamnya sebagai agen. Kantor-kantor pemerintah bisa dijadikan sarana percontohan masyarakat tentang lingkungan yang bersih terjaga, kata para filsuf memimpin dengan keteladanan selain dapat menggerakkan orang-orang (yang dipimpinnya) , juga lebih menghemat biaya.

Sebagai penutup tulisan ini, persoalan kebersihan bukanlah persoalan satu bulan atau satu tahun saja, namun ia merupakan persoalan yang akan melingkupi masyarakat manusia sepanjang hayatnya. Maka, kebersihan bukanlah program untuk mendapat prestasi saja bukan? Membangun kesadaran akan lebih penting. Memberi keteladanan melalui tindakan akan menjadi motor penggerak, jika itu semua sudah padu, saya pikir Adipura bukanlah lagi sebagai kompetisi yang diikuti, namun layaknya Koran berlangganan yang tiap  hari kita tahu akan selalu diantarkan.

(Pernah di Muat dalam Harian Buton Pos)

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.