(Menarik Pelajaran dari
Pemimpin Informal Masyarakat Pesisir)
Ini
entah hari keberapa dalam penelitian saya, beberapa hari lalu saya mulai malas
menuliskan catatan perjalanan penelitian, seperti yang saya lakukan diawal
penelitian tesis saya. bukan tidak memiliki kesempatan untuk itu, waktu memang
banyak untuk bisa menuliskannya hanya saja pikiran ini yang tidak mau memulai
menuliskan itu. untunglah pikiran ini bisa dikembalikan ke tracknya kembali,
semoga besok-besok bisa saya kembali menuliskan semuanya. Walaupun hanya pada
hari-hari tertentu saja, setidaknya akan ada pembelajaran yang bermanfaat dari
apa yang saya temui di lapangan sewaktu penelitian ini.
Sebelumnya,
saya mendapat informasi dari teman kalau minggu depan akan ada teman yang
seminar hasil. Padahal kalau dipikir pada saat seminar proposal saya bersama
mereka, dan saat ini mereka akan seminar hasil, dan proposal punya saya masih
mentah belum terjamah sedikitpun oleh hasil penelitian. Ironis memang, penelitian
di daerah ketika kita kuliah jauh dari daerah, maka otomatis penelitian
didaerah akan sekaligus menjadi liburan. Hehe...
Makanya,
pikiran ini mesti dikembalikan ke arahnya biar produktif setidaknya ada hal
yang bisa saya pelajari dari hari ke hari saat saya lakukan penelitian ini.
membagi cerita mungkin akan lebih bisa membuka pikiran saya untuk memulai dari
mana menuliskan lanjutan tesis saya nantinya.
Pengalaman
menarik yang ingin saya ceritakan disini, yaitu pada dua hari kemarin ketika
saya turun wawancara dengan massyarakat di dua kelurahan yang berbeda.
Masing-masing mereka mewakili kelompoknya di masyarakat pesisir, yang satu
bapak La Bura mewakili kelompok nelayan dan Bapak La Ajima sebagai tokoh Agama.
Sebelum bertemu dengan mereka saya tidak punya pandangan lain terhadap mereka
berdua, selain untuk mewawancarai terkait hubungan sosial masyarakat dimana
mereka berada.
Kita
mulai dari bapak La Bura, pertama kali saya menanyakan mengenai kelompok yang
dibentuk mereka itu atas alasan apa. Namun, mungkin maksud bapak berumur
sekitar 50 tahun ini adalah memulai menjelaskan dari nama kelompoknya. Makanya,
hampir sekitar satu menitan saya menunggu kebingungan bapak ini, bahkan si
bapak ini bertanya ke istrinya apa nama kelompok mereka, padahal spanduk
sekretariat terpampang di depan rumah mereka.
Akhirnya
saya memutuskan untuk membantunya, nama kelompok yang tertulis disitu adalah
kasintapa pak, apa itu namanya? Lalu dijawabnya, oh iya itu mi namanya!. Nah,
masalah terpecahkan. Di sinilah kemudian saya menyadari bahwa, bapak ini tidak
bisa membaca mungkin!. Lalu, saya mulai wawancara dan panjang lebar menjelaskan
tentang maksud saya datang dan mewawancarai si bapak ini.
Setelah
akhirnya wawancara cukup mendalam, barulah saya dijelaskan oleh si bapak kalau
beliau memang tidak bisa membaca dan menulis, beliau memang tidak sekolah. Lho?
Lalu beliau dijadikan ketua kelompok nelayan disini atas dasar apa? Si bapak
menjelaskan bahwa beliau sendiri tidak tahu kenapa beliau yang dipilih, mungkin
karena usia beliau yang lebih tua dibanding dengan anggota kelompok yang lain.
Tapi,
saya masih penasaran dengan alasan usia ini. pasalnya, kelompok ini memiliki
serangkaian kegiatan dan organisaional sendiri. Misalnya untuk mendapatkan
bantuan mereka mesti mengajukan proposal, memberikan laporan keuangan dari
usaha yang dibantu melalui proposal yang diajukannya ke pemerintah daerah, dan
juga ada mekanisme tabungan untuk anggota kelompok.
Lalu
apa? Setelah lama mendalami profil si bapak sebagai ketua kelompok, saya menyadari
bahwa pengalaman merupakan alasan si bapak dipilih untuk mengatur anggota
kelompoknya yang lain. Bayangkan, telah satu tahun lebih kelompok ini masih
terus eksis menjalankan usahanya dan kepercayaan didalam kelompok masih terjaga
dengan baik. Selain itu, pengalaman si bapak juga merupakan pembelajaran
otodidak. Misalnya saja ketika beliau menjelaskan mengenai cara dia memelihara
rumput lau, dan beliau tidak risau dengan penyakit apalagi penggunaan pupuk,
yang menurut penuturan beliau belajar sendiri beberapa tahun lalu yang bibitnya
dulu didatangkannya dari fhilipina.
Selain
itu juga, ada pembelajaran yang berharga dari si bapak ketika menjelaskan cara
dia memelihara rumput laut tanpa pupuk dan tidak takut sama penyakit. Katanya,
dia memakai bibit yang besar sehingga kalau ada penyakit bibit akan tahan
terhadap penyakit, kalaupun diserang penyakit paling Cuma sebagian dari bibit
tersebut.
Beliau
memberikan analogi menarik menurut saya, analogi dari seseorang yang tidak bisa
baca tulis dan tidak sekolah, katanya “sama seperti usaha, kalau modal kita
kecil maka yang kita dapat juga akan kecil, tapi kalau modal besar maka yang
kita dapat akan juga besar”. Intinya, bahwa menurut penuturan si bapak kita
mesti berani mengambil resiko untuk sesuatu yang akan kita usahakan. Begitulah
beliau menerapkannya dalam kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan.
Padahal beliau tidak bisa baca tulis, tidak sekolah!.
Sejalan
dengan pengalaman diatas, di kelompok masyarakat lainnya saya bertemu dengan
seorang tokoh agama setempat. Namanya pak La Ajima, berumur sekitar lebih dari
40 tahunan dengan pekerjaan sebagai tukang senso (buruh potong kayu dengan
mesin). Beliau adalah seorang tokoh agama, yang dipilih langsung oleh jamaah
masjid di komunitas pesisir Kalia-lia. Beliau memang masih cukup muda, padahal
sebelum bertemu dengannya, dibenak saya akan bertemu dengan seseorang yang
sudah tua, pasalnya imam masjid di daerah seperti ini pasti orang yang dituakan
di masyarakatnya.
Sebelumnya,
wawancara yang saya lakukan hanya berputar pada dinamika masyarakat pesisir di
wilayahnya, yang tentunya dikaitkan pada sisi pandang keyakinan beragama
masyarakat disitu. Banyak hal dijelaskan mengenai keresahan si bapak dengan
masyarakatnya yang sekedar menganut agama muslim, namun keadaan masjid di situ
belum makmur dengan jamaah yang mayoritas.
Menariknya
disini, biasanya untuk menjadi seorang imam tentu seseorang tersebut mesti
mengetahui tentang agama dan seputar hal itu. tentu kebiasaan ini akan ditinjau
dari seseorang yang pernah secara reguler belajar tentang agama, apakah itu
kemudian melalui kuliah agama atau minimal pernah di pesantren. Namun, berbeda
dengan si bapak ini yang hanya lulusan SD.
Sama
seperti bapak La bura di penjelasan awal tadi, bapak La Ajima ini juga
dipercaya sama masyarakatnya karena pengalamannya dan apa yang sudah
dilakukannya untuk apa yang dianjurkan oleh agama yang dianutnya yakni Islam.
Setelah mencoba mewawancarai secara mendalam, karena saya penasaran kenapa
beliau yang diangkat sebagai imam masjid padahal menurut penuturan beliau,
masih banyak yang lebih tua usianya dan bisa menjadi imam, namun jamaah sepakat
untuk mengangkat beliau.
Berceritalah
beliau, beberapa tahun belakangan tentang apa yang dilakukannya di lingkungan
kalia-lia ini. selain beliau patuh dalam menjalankan ajaran Agama islam,
ternyata beliau juga berani dalam menentang perilaku masyarakat setempat yang
itu bertentangan dengan ajaran agama Islam. Salah satunya adalah Miras lokal
atau arak, yang dalam bahasa setempat disebut Sopi.
Meminum
miras di masyarakat ini memang seperti rahasia umum, bahkan penjualannya
dilakukan secara terang-terangan. Apalagi menurut penuturan beliau miras ini
juga sudah dikonsumsi oleh anak muda. Makanya beliau cukup resah dengan
keberadaan miras tersebut, karena ini akan merusak kehidupan masyarakat
setempat. Namun apalah dia sendiri dengan komunitas masyarakat yang banyak,
pada waktu itu seolah membiarkan hal itu terjadi.
Untuk
itu, beliau bercerita tentang pengalamannya dalam menolak kondisi ini.
Kronologinya sekitar dua tahun lalu, ketika bulan ramadhan saat subuh hari
setelah sahur. Ketika beliau akan pergi berjamaah sholat subuh di masjid.
Beliau kemudian melihat sebuah mobil pick up terparkir tidak jauh dari
rumahnya, ketika diperhatikan ternyata muatannya adalah jerigen berisi Sopi
yang diturunkan di salah satu rumah di situ.
Disitulah
kemudian beliau menahan mobil tersebut, bahkan katanya sempat cekcok dengan
sopirnya, namun beliau juga tidak mau kalah yang menurut ceritanya beliau
sempat mengambil batu besar dan mengancam akan memecahkan kaca depan mobil itu
jika tidak menghentikan kegiatannya. Kemudian, beliau juga menyampaikan ini
kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat lainnya, sehingga setelah sholat subuh
warga masyarakat menahan mobil beserta isi dan sopirnya yang memuat miras sopi
tersebut. sehingga pada waktu itu katanya sempat dibuat surat kesepakatan untuk
tidak memperdagangkan itu lagi di daerah ini.
Memang,
kasus itu adalah salah satu yang dilakukan beliau sebagai akibat dari
keyakinannya dalam menjalankan apa yang diajarkan agama. Akhirnya saya
berkesimpulan sederhana mengenai pertanyaan saya sebelumnya, mungkin karena
keberanian beliau untuk menentang sesuatu yang dilarang agama seperti kasus
diatas yang membuat beliau dipilih menjadi imam masjid sekarang.
Dua
kasus dalam penelitian saya ini, memberikan pembelajaran berharga buat saya.
Bagaimana kemudian orang-orang yang tidak sekolah dan hanya tamatan SD kemudian
bisa memimpin masyarakat di komunitasnya. Hal ini, menunjukkan bahwa pemimpin
itu tidak dilahirkan namun diciptakan. Proses penciptaan itulah yang kemudian
kita kenal sebagai pengalaman.
Dan
hari ini mereka menunjukkan kesaya, bahwa di tingkat lokal masih hidup
pengalaman-pengalaman kearifan dalam memandang hidup, bahwa status yang tersemat
oleh seseorang tidak menjamin bagaimana sebuah pengalaman menempanya menjadi
seorang yang mampu menjadi pemimpin bagi masyarakatnya.
Kita
kemudian bisa berkaca pada para pemimpin-pemimpin kita pada masa lalu, mereka
mampu memimpin dengan baik, menjadi pengayom masyarakat, memberi teladan
walaupun mereka tidak ditempa pada sekolah formal atau tingkatan akademik
tertinggi. Namun pengalaman hidup membentuk mereka menjadi orang-orang hebat
pada masanya di masyarakatnya.
Akan
berbeda dengan kondisi hari ini, yang mana terkadang kita di paradekan dengan
orang-orang yang menyematkan namanya pada gelaran akademik tertinggi
dibidangnya, namun tidak bisa menjadi teladan bagi masyarakatnya. Perilaku
korupsi, dan penyalagunaan kewenangannya yang menjadikan pesimisme masyarakat
terhadap keberadaan mereka.
Setidaknya
kita masih bisa percaya, bahwa di dekat masyarakat sana masih ada
pemimpin-pemimpin masyarakat yang bisa dipercaya oleh komunitasnya. Setidaknya
sampai waktu yang akan menunjukkan, siapa yang lebih pantas diteladani, yang
kemudian kita mengambil tetesan pengalaman kebijakan darinya. Bisa dibilang,
saat ini saya tengah disugukan sebuah lirik kehidupan bahwa menjadi pemimpin
bukan karena seseorang dilahirkan dari rahim istri seorang pemimpin, namun
seorang pemimpin itu diciptakan oleh pengalamannya sendiri. Bukankah untuk
menjadi nakhoda yang tangguh, berasal dari laut yang berombak.
Komentar