Langsung ke konten utama

MERAJUT ASA DI SUDUT PESISIR



Gambar disini

Saat ini, mungkin bagi sebagian orang menganggap bahwa menjadi nelayan itu adalah pekerjaan yang tidak begitu menjanjikan kehidupan yang sejahtera. Sehingga apa yang menjadi mindset masyarakat, mejadi seorang nelayan itu adalah ketika tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan pekerjaan, maka memilih menjadi nelayan adalah jalan terakhir. Pernyataan ini saya dapatkan ketika mencoba menggali data tesis saya, bertemu dengan para pendamping penyuluh masyarakat nelayan.

Memang, saat ini pilihan untuk bekerja meraih kesejahteraan ekonomi sudah cukup banyak. Ditambah dengan keadaan lingkungan yang menuntut perubahan yang cukup signifikan bagi masyarakat, misalnya saja pada kebutuhan-kebutuhan yang terus berubah karena mengikuti perkembangan zaman. Ketika kita kemudian tidak mampu memiliki sejumlah kebutuhan jamak masyarakat tersebut, bisa jadi kita menjadi bagian minoritas dan bisa disebut kampungan atau istilah lainnya yang menjurus karena tidak mengikuti perkembangan zaman.

Setiap zaman selalu membawa spritinya sendiri, baik itu berupa spirit material maupun dalam bentuk emosional. Dua hal ini memang tidak dapat dipisahkan, dan hal ini terjadi di lingkungan masyarakat kita. Tidak terlepas kemudian apakah dia berada di daerah pegunungan, maupun daerah pesisir yang banyak bergumul dengan laut. Sehingga tidak heran, beberapa budaya khas yang kita miliki saat ini mulai tergerus oleh pencapain pemenuhuan kebutuhan material tersebut.

Untuk itulah pemikiran atau mindset tersebut yang kemudian menuntut untuk diarahkan kepada hal yang bermanfaat bagi masyarakat. salah satu hal yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini, adalah ketika saya bertemu dengan sekelompok masyarakat nelayan yang hari ini mereka mulai berani mengatakan dengan bangga bahwa pekerjaan saya adalah nelayan. Menjadi nelayan menurut mereka bukan pilihan terakhir dalam bekerja, namun nelayan adalah pekerjaan pilihan dan mereka bangga dengan itu.

Pengalaman ini saya peroleh ketika bertemu dengan beberapa kelompok nelayan di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Baubau beberapa waktu lalu. Saat itu memang tidak banyak cerita yang tercipta, karena pembicaraan dilakukan dalam bentuk diskusi dengan tenaga pendamping penyuluh kelompok nelayan (Rasmin) sehingga mungkin saja ada beberapa kata yang tidak dimengerti oleh bapak-bapak ketua kelompok nelayan tersebut. maklum untuk sekolah sampai tingkat SMP saja mereka tidak tamat, namun bukan berarti kita tidak bisa belajar banyak dari mereka.

Awalnya memang menjadi nelayan, menjadi pilihan mereka karena tidak sekolah dan keahlian yang bisa diturunkan dari orang tuanya adalah bagaimana menangkap ikan. Praktis, nelayan adalah pekerjaan turun temurun. Namun pemikiran inilah yang ingin dirubah oleh pendamping penyuluh nelayan tersebut, biarkan para nelayan bangga menjadi nelayan dan bisa mensejahterakan keluarga mereka walaupun sebagai nelayan.

Sambil cerita saat itu saya juga sambil belajar banyak kepada mereka, walaupun secara berkelakar saya katakan bahwa jangan berkecil hati bapak tidak sekolah sehingga malu untuk bercerita. Tapi pengalaman bapak hari ini bisa memberi banyak pengajaran bagi saya, mungkin saya punya sekolah yang tinggi namun tidak mempunyai pengalaman yang banyak seperti bapak, apalagi menyangkut pengalaman di dalam mengarungi lautan. Setidaknya saya sedikit paham tentang bagaimana spirit bahari orang buton dari buku yang sempat saya baca.

Diakhir pembicaraan, salah satu bapak kelompok nelayan mengajak untuk melihatnya bekerja yang kebetulan bersama-sama dengan kelompok lainnya, besok pagi. Katanya kalau mau ikut mengangkat bubu’ (alat tangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dirangkai seperti perangkap, yang akan dimasuki ikan), datang pagi kalau mau ikut di laut tapi kalau mau lihat hasilnya datang agak siang saja, saat sudah kami angkat bubu’nya.

Cerita ini langsung saja pada besoknya, saat saya pergi melihat kelompok nelayan tersebut. saat saya tiba memang aktivitas mengangkat bubu’ itu telah selesai, bahkan ikan yang didapatinya sudah dibagi rata dengan anggota kelompok yang ikut saat itu. lumayan kata mereka, setidaknya separoh bisa kami jual dan separohnya bisa dimakan sendiri. Setelah mereka membersihkan diri, akhirnya saya sempatkan untuk wawacara sedikit tentang kelompok mereka.

Dari wawacara yang dilakukan memang ada banyak yang bisa dipelajari, dari bagaimana mereka bercerita tentang kelompok mereka yang saling membantu didalamya ketimbang saat melakukan semuanya sendiri saja. Ada juga yang bisa kita lihat dari komunikasi yang mereka lakukan satu sama lain, bagaimana solidaritas sosial mereka, bagaimana nilai-nilai bersama yang mereka pahami bersama.

Banyak hal yang bisa dipelajari, solidaritas sosial yang terlihat dari kelompok nelayan ini. walaupun memang stigma sebagian dari mereka tidak sekolah, namun pengalaman membuat mereka terkadang lebih “berkapasitas” ketimbang mereka yang bersekolah, mereka lebih jujur dan ikhlas dengan masyarakat lainnya ketimbang para pesolek politik yang banyak terpajang dipinggir jalan sebagai baliho, mereka lebih memiliki tekad dalam bentuk niat untuk membantu masyarakat lainnya yang seperti mereka karena perasaan senasib, bukan hanya niat yang muncul kalau ada maunya.

Setidaknya, masih ada harapan mengenai indahnya kehidupan sosial masyarakat kita ditengat-tengah parade penurunan moral dan solidaritas yang terjual di negeri ini. mari belajar dan selalu belajar, karena semua orang adalah guru bagi kita. Tentu belajar adalah proses menyerap kebaikan.

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

Sepotong Puding Berwarna Kuning

Ayra!. Melihamu pulas dalam tidurmu.. Nyenyak, tenang, walapun sesekali kau bergerak untuk mencari kenyamanan dalam tidurmu. Atau kau sedang bermimpi sesuatu. Tapi raut wajahmu tetap tenang, berbeda dengan orang dewasa yang lebih banyak berpikir tentang ini dan itu. “rambutmu, matamu, bibirmu, raut wajahmu memberikan ketenangan dalam memperhatikanmu. Inikah salah satu jawaban bahwa anak kecil itu “suci”. “Silahkan makan…” Untuk kesekian kalinya. Hanya melihat.. Sepotong pudding yang tersaji, sejak tadi disuruh untuk memakannya. Namun belum kusentuh belum kucoba hanya berkata “iye!”. Masih sibuk dengan logikaku ketika ada yang lain dari sebuah suguhan ini, “perhatian lain” menurutku. Apa yang ingin kukatakan padanya? Terimakasih tidaklah cukup, ku harus mencobanya, mencoba rasanya atau mungkin ada setetes kasih di dalamnya untukku!! “tapi ada sebungkus ikhlas menyertainya, namun untukku kah?” Memotong memori ketika itu, tentang sepotong pudding berwarna kuning yang disuguhk

Memaknai Moment

Terima Kasih atas ucapan teman, sahabat dan saudara untuk hari kemarin, hari kelahiran yang tercatat oleh negara melalui akta kelahiran dan juga KTP, SIM dan sebagainya.. Kita mungkin menggunakan media sosial sebagai sarana, yang juga sekaligus media yang membuat kita berjarak, begitu dekat namun sejatinya sungguh berjauhan. Tapi bukan itu esensinya, apalah gunanya pertemuan tanpa pesan. Dan ucapan yang ditujukan buat saya adalah pesan buat saya, ucapan yang menembus waktu meluruhkan ruang. Terima Kasih, kata-kata itu menyerupai doa, sekaligus pengingat kepada saya. pengingat yang berkata "heyy...lakukanlah itu". Ngomong-ngomong tentang pengingat, saya begitu mengingat apa yang kakek pernah berpesan. Momentnya juga tepat seperti kemarin, moment kelahiran. Beliau berpesan, "tak menjadi soal jalan mana yang kamu pilih, namun seperti apa sejarah (manfaat) yang bisa kamu berikan melalui jalan itu". Sederhana namun begitu memberi bekas, dan saya ingin membagi ini kepa