Kalau membahas tentang pendidikan memang tidak ada habisnya, pendidikan senantiasa mengisi ruang-ruang diskusi dengan apiknya. Terang saja kalau pendidikan adalah lentera yang akan senantiasa menerangi jalan-jalan kehidupan manusia. Karena itu kualitas suatu kota, daerah, dan masyarakatnya akan selalu diukur dari bagaimana kualitas pendidikan masyarakatnya. Ini sebuah tulisan refleksi dari saya sendiri, yang kemudian di muat di harian Buton Pos, barangkali bermanfaat.
Syahdan, kualitas keterdidikan seseorang selalu
dihubungkan dengan jenjang sekolah yang telah ditempuhnya serta tingginya nilai
NEM/IPK-nya sedangkan kompetensi lainnya tidak
terlalu diutamakan. Sederhananya kuantitas kognitif menjadi persepsi utama
dalam pendidikan ketimbang
kompetensi yang lain. Padahal, pengalaman mencatat bahwa
mereka yang terdidik secara kognitif ternyata banyaj yang tidak mampu memegang
teguh etika moral, agama, dan sosial. Olehnya itu, boleh saja tingginya
intelektualitas seseorang namun rendah integritasnya.
Jika memang kondisinya demikian, maka jangan
bertanya kenapa pelaku korupsi di bangsa ini sebagian besar berada di lingkup
orang-orang yang terlihat memiliki intelektualitas yang tinggi. Ada fenomena
lain yang sedang hangat diperbincangkan tentang salah satu
menteri kabinet kerja Jokowi-JK yang hanya lulusan sekolah menengah. Pandangan
publik lalu mulai membanding-bandingkan antara tingkat pendidikan dan jabatan,
kemampuan serta kompetensi, sambil kemudian diperhadapkan oleh fakta korupsi
yang dilakukan oleh mereka yang terdidik.
Mencermati fenomena sekolah dan tingkat keterdidikan
seseorang, memang masih menjadi diskursus tersendiri bukan saja dalam pandangan
publik namun juga problematika administrasi pendidikan negeri ini. Kita
kemudian perlu meluruskan pandangan seperti ini bahwa proses pembentukan kepribadian dan karakter
generasi melalui sekolah adalah sebuah proyek besar bagi kemajuan bangsa
melalui pendidikan.
Sekolah
(formal) dan Pendidikan
Mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa hanya
melalui sekolah formal-lah kita mendapatkan ilmu pengetahuan, yang pada akhir
tiap tahapannya diberikan selembar kertas yang disebut ijasah. Sampai disitu,
deretan ijasah yang didapatkan dari proses belajar di sekolah formal tersebut
menjadi justifikasi bahwa seseorang adalah orang terdidik. Saya pikir ini
adalah sebuah kekeliruan persepsi kita saat ini, seseorang boleh saja
memperoleh deretan ijasah yang diperoleh dari sekolah formal yang dijalaninya,
akan tetapi keterdidikannya belum tentu sejalan dengan perolehan tersebut.
Pada akhirnya timbul pertanyaan bahwa apakah jenjang
sekolah bisa menjadi jaminan keterdidikan seseorang?. Tulisan ini tidak
bermaksud menyalahkan institusi sekolah kita, namun sekedar mengkritisi
diskursus dalam cara berpikir kita tentang jenjang sekolah dan kadar
keterdidikan seseorang.
Dalam paradigma pembelajaran, seseorang bisa saja
memiliki jenjang sekolah formal mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi
namun itu belum tentu menjamin integritas seseorang. Nilai-nilai moral, etika,
agama, sosial masih dianggap bagian lain dari ranah intelektualitas seseorang. Rhenald
Kasali mengingatkan tentang sebuah fakta bahwa kebanyakan sarjana kita belum banyak yang mampu bekerja
dengan baik meski di bangku perkuliahan mereka terlihat sangat berprestasi.
Inilah yang disebut sarjana kertas dengan kehebatan memindahkan isi buku ke
dalam lembar kertas ujian.
Pendidikan mestinya dipahami bukan saja sebagai
pembentuk ranah kognitif seseorang, namun lebih besar dari pada itu yakni
pendidikan sebagai sarana untuk bersosialisasi dengan dunia luar, memahami
dinamika sosial, memupuk kompetensi, berinteraksi dengan orang lain, memupuk
optomisme, membangun integritas, dan tentu membentuk moral karakter seseorang.
Membenahi
Persepsi
Sejatinya pemerolehan ilmu pengetahuan tidak
terbatas pada ruang dan waktu yang hari ini kita kenal dengan sekolah formal
dan jam sekolah saja. Saya percaya bahwa pendidikan itu adalah hak semua orang,
dan tentu juga ini berkorelasi dengan bahwa setiap orang yang terdidik memiliki
kewajiban untuk mendidik. Termasuk adalah sekolah itu bersifat universal, dalam
artian bahwa dimanapun dan kapanpun bisa disebut sekolah dan setiap orang bisa
menjadi guru sekaligus sebagai murid minimal bagi dirinya sendiri.
Mungkin dengan persepsi seperti ini, dapat menjadi
kesadaran diri (self awareness) dalam
berperilaku di kehidupan sehari-hari. Untuk itu, kita mesti memahami bahwa
kesadaran akan pendidikan itu penting. Terlepas apakah itu diperoleh melalui
keluarga, sekolah formal, informal atau lingkungan.
Akhirnya, memposisikan diri bahwa meningkatkan
derajat pendidikan itu menjadi tanggungjawab bersama adalah sebuah keniscayaan,
kita perlu memahami bahwa pendidikan yang berkualitas adalah sebuah proses
pendidikan yang senantiasa berdialektika dengan kondisi sosial budaya
disekitarnya. Karenanya, Pendidikan kemudian bukan saja tanggungjawab
pemerintah, sekolah atau guru semata namun semua pihak bertanggungjawab untuk
itu. Sebagai awal, persepsi seperti ini mungkin bisa membantu pemahaman kita
tentang pendidikan dan keterdidikan.
*
FISIP Universitas Muhammadiyah Buton
bulawambona.87@gmail.com
Komentar