Langsung ke konten utama

Diskursus Pendidikan



 
sumber: google.com
Kalau membahas tentang pendidikan memang tidak ada habisnya, pendidikan senantiasa mengisi ruang-ruang diskusi dengan apiknya. Terang saja kalau pendidikan adalah lentera yang akan senantiasa menerangi jalan-jalan kehidupan manusia. Karena itu kualitas suatu kota, daerah, dan masyarakatnya akan selalu diukur dari bagaimana kualitas pendidikan masyarakatnya. Ini sebuah tulisan refleksi dari saya sendiri, yang kemudian di muat di harian Buton Pos, barangkali bermanfaat.

Syahdan, kualitas keterdidikan seseorang selalu dihubungkan dengan jenjang sekolah yang telah ditempuhnya serta tingginya nilai NEM/IPK-nya sedangkan kompetensi lainnya tidak terlalu diutamakan. Sederhananya kuantitas kognitif menjadi persepsi utama dalam  pendidikan ketimbang kompetensi yang lain. Padahal, pengalaman mencatat bahwa mereka yang terdidik secara kognitif ternyata banyaj yang tidak mampu memegang teguh etika moral, agama, dan sosial. Olehnya itu, boleh saja tingginya intelektualitas seseorang namun rendah integritasnya.

Jika memang kondisinya demikian, maka jangan bertanya kenapa pelaku korupsi di bangsa ini sebagian besar berada di lingkup orang-orang yang terlihat memiliki intelektualitas yang tinggi. Ada fenomena lain yang sedang hangat diperbincangkan tentang salah satu menteri kabinet kerja Jokowi-JK yang hanya lulusan sekolah menengah. Pandangan publik lalu mulai membanding-bandingkan antara tingkat pendidikan dan jabatan, kemampuan serta kompetensi, sambil kemudian diperhadapkan oleh fakta korupsi yang dilakukan oleh mereka yang terdidik.

Mencermati fenomena sekolah dan tingkat keterdidikan seseorang, memang masih menjadi diskursus tersendiri bukan saja dalam pandangan publik namun juga problematika administrasi pendidikan negeri ini. Kita kemudian perlu meluruskan pandangan seperti ini bahwa  proses pembentukan kepribadian dan karakter generasi melalui sekolah adalah sebuah proyek besar bagi kemajuan bangsa melalui pendidikan.

Sekolah (formal) dan Pendidikan

Mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa hanya melalui sekolah formal-lah kita mendapatkan ilmu pengetahuan, yang pada akhir tiap tahapannya diberikan selembar kertas yang disebut ijasah. Sampai disitu, deretan ijasah yang didapatkan dari proses belajar di sekolah formal tersebut menjadi justifikasi bahwa seseorang adalah orang terdidik. Saya pikir ini adalah sebuah kekeliruan persepsi kita saat ini, seseorang boleh saja memperoleh deretan ijasah yang diperoleh dari sekolah formal yang dijalaninya, akan tetapi keterdidikannya belum tentu sejalan dengan perolehan tersebut.

Pada akhirnya timbul pertanyaan bahwa apakah jenjang sekolah bisa menjadi jaminan keterdidikan seseorang?. Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan institusi sekolah kita, namun sekedar mengkritisi diskursus dalam cara berpikir kita tentang jenjang sekolah dan kadar keterdidikan seseorang.

Dalam paradigma pembelajaran, seseorang bisa saja memiliki jenjang sekolah formal mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi namun itu belum tentu menjamin integritas seseorang. Nilai-nilai moral, etika, agama, sosial masih dianggap bagian lain dari ranah intelektualitas seseorang. Rhenald Kasali mengingatkan tentang sebuah fakta bahwa kebanyakan sarjana kita belum banyak yang mampu bekerja dengan baik meski di bangku perkuliahan mereka terlihat sangat berprestasi. Inilah yang disebut sarjana kertas dengan kehebatan memindahkan isi buku ke dalam lembar kertas ujian.

Pendidikan mestinya dipahami bukan saja sebagai pembentuk ranah kognitif seseorang, namun lebih besar dari pada itu yakni pendidikan sebagai sarana untuk bersosialisasi dengan dunia luar, memahami dinamika sosial, memupuk kompetensi, berinteraksi dengan orang lain, memupuk optomisme, membangun integritas, dan tentu membentuk moral karakter seseorang.

Membenahi Persepsi

Sejatinya pemerolehan ilmu pengetahuan tidak terbatas pada ruang dan waktu yang hari ini kita kenal dengan sekolah formal dan jam sekolah saja. Saya percaya bahwa pendidikan itu adalah hak semua orang, dan tentu juga ini berkorelasi dengan bahwa setiap orang yang terdidik memiliki kewajiban untuk mendidik. Termasuk adalah sekolah itu bersifat universal, dalam artian bahwa dimanapun dan kapanpun bisa disebut sekolah dan setiap orang bisa menjadi guru sekaligus sebagai murid minimal bagi dirinya sendiri.

Mungkin dengan persepsi seperti ini, dapat menjadi kesadaran diri (self awareness) dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari. Untuk itu, kita mesti memahami bahwa kesadaran akan pendidikan itu penting. Terlepas apakah itu diperoleh melalui keluarga, sekolah formal, informal atau lingkungan.

Akhirnya, memposisikan diri bahwa meningkatkan derajat pendidikan itu menjadi tanggungjawab bersama adalah sebuah keniscayaan, kita perlu memahami bahwa pendidikan yang berkualitas adalah sebuah proses pendidikan yang senantiasa berdialektika dengan kondisi sosial budaya disekitarnya. Karenanya, Pendidikan kemudian bukan saja tanggungjawab pemerintah, sekolah atau guru semata namun semua pihak bertanggungjawab untuk itu. Sebagai awal, persepsi seperti ini mungkin bisa membantu pemahaman kita tentang pendidikan dan keterdidikan.



* FISIP Universitas Muhammadiyah Buton
bulawambona.87@gmail.com

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.