Langsung ke konten utama

Cerita Si Lampu Merah



Ini adalah sebagian dari keseluruhan sebuah perbincangan saya dengan lampu merah, sebagain orang mungkin akan mengira saya ini orang gila kok bicara dengan benda mati si lampu merah, tapi kupikir lebih gila lagi ketika kita merusak mereka atas nama rakyat dan karena kebencian kita sama beberapa orang di pemerintahan lalu dengan alasan karena si lampu merah ini dibuat mereka padahal dananya dari pajak yang kita bayarkan dengan seenaknya kita menghancurkannya. Bukankah itu tindakan gila hanya karena rusak muka kaca dibelah?....
Saat itu sekitar jam 17.42 wita kuberjalan keluar dari kampus menuju pondokan, seperti biasa saya memang pulang dari kampus selalu sore walaupun tidak ada kuliah entah kenapa di kampus saya selalu mendapat apa yang bisa saya pelajari untuk pengalaman saya. Ketika saya melewati persimpangan untuk menyebrang, ada hal yang lain kulihat keadaan lalu lintas yang semrawut ada yang keluar dari kampus, yang mau masuk ke kampus, hingga yang hanya melewati kampus saling berurutan dan seakan merayap pada badan jalan yang sebenarnya cukup lebar sih tapi kemacetan itu tetap saja mengancam pada jam-jam seperti ini.
Seakan ada yang mengarahkan saya langsung melirik ke lampu merah yang terpasang di sisi jalan, kenapa tidak menyala...? padahal ketika pertama kali difungsikannya beberapa bulan lalu setidaknya perannya sebagai pengatur lalu lintas cukup ampuh untuk menertibkan lalu lintas walaupun kadang-kadang juga menjadikan sisi jalan ini macet juga sih, tapi tidak semrawut kayak ini.
Kawan....! sayup suara itu terdengar di telinga saya, saya langsung teringat dengan panggilan ”kawan” ini ketika ada demonstrasi mahasiswa sering digunakan sebagai panggilan ataupun panggilan ini cukup akrab dengan telinga para aktivis kampus, jadi pikirku mungkin ada kawan dari kampus yang memanggil saya, saya kemudian menoleh kebelakang tapi tidak ada siapapun disana, sekali lagi kudengar Kawan......!,
”Mereka telah merusakku, memecahkan lampuku bahkan mereka mencoba merobohkanku pada waktu itu, tapi untunglah pijakan fondasi dibawah tiangku cukup kuat menahan gebrakan mereka. Saya kaget bukan main suara ini....suara yang berasal dari lampu merah yang secara tidak sengaja saya sedang berdiri disampingnya melihat kesemrawutan lalu lintas sore itu.
”Hantu....! dalam pikiran saya,.....astaga hantu apa yang berkeliaran sore hari begini pada saat masih ramainya orang-orang berlalu lalang dan masa sih saya dapat mendengar suara hantu....?
Bukan kawan,.....saya...saya lampu merah disampingmu. Kenalkan aku lampu merah kawan, maaf secara tidak sengaja saya dapat mendengar pertanyaanmu tadi kenapa tidak menyala...?, maaf lagi telah mengagetkanmu....”
Apakah saya bermimpi?......dengan masih dalam situasi kaget tadi...
Tidak kawan, kawan tidak bermimpi....ini nyata kawan, apa sih yang tidak boleh sekarang. Ini Demokrasi kawan kita berhak menyuarakan aspirasi kita, tidak ada pembedaan bagi semua, semua harus sama di depan hukum, kawan. Ini yang sering aku dengar dari para mahasiswa yang Demonstrasi di depan ku dengan nama Demokrasi atas nama rakyat mereka menutup jalan dan memacetkan lalu lintas, dan parahnya beberapa hari lalu mereka dengan alasan yang tidak jelas mereka kemudian merusak rambu-rambu jalan kawan aku disana, bahkan terhadapku dan teman-temanku disisi jalan sana pun terkena imbasnya, itu kawan yang aku ceritakan tadi hingga kau kaget dikiranya aku hantu kawan.....”
”Oh...iya saya teringat beberapa hari yang lalu ini terjadi, terkait paripurna DPR soal kasus Century yang diramaikan dengan Demonstrasi mahasiswa hingga bentrok mahasiswa dengan warga”. Seakan-akan saya langsung akrab dengan kawan saya yang satu ini yang semula saya kaget dengan tiba-tibanya dia dapat berbicara kepada saya.
”Apakah kau seperti mereka juga kawan.....? dia bertanya padaku.
”Maksudmu kawan......? aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu dan nada suaramu yang mencerminkan nada pesimisme mu kawan....”
”seperti mereka kawan, yang selalu berteriak hidup rakyat dan melakukan pengrusakan fasilitas untuk rakyat seperti saya, atau bentrok dengan warga seperti itu kawan...? atau semua mahasiswa seperti itu kawan tidak peduli lagi dengan lingkungan sosialnya kawan...?”
”Kupikir tidak semua kawan. Sanggahku.”
”Masih ada kok, yang peduli dengan lingkungan sosialnya. Yang terjadi kemarin mungkin adalah provokasi dari para provokator, kawan....?
” Ah seperti itu kah mahasiswa sekarang kawan...?, ku dengar di dalam sana kalian punya tri darma perguruan tinggi yang salah satunya pengabdian kepada masyarakat. Disamping itu kalian punya mekanisme perkaderan, kawan. Yang katanya kalian diajarkan tentang realitas sosial, jiwa kepemimpinan, hingga pelatihan mental dan fisik yang cukup membuat momok di masyarakat akan perkaderan itu adalah maaf ”penyiksaan”. Padahal kata kalian ini adalah latihan untuk melatih mental kalian jika turun dimasyarakat nanti, padahal hanya karena seorang provokator saja kalian bisa saling serang dengan sesama kalian sendiri kawan...!!” bagaimana mungkin kalian yang katanya kaum terpelajar terkadang berbuat demikian. Dimana mental kalian itu, berteriak di depan mahasiswa baru tentang moral dan etika seorang kaum terpelajar (Mahasiswa.red) padahal ketika ada ketidak sepakatan sedikit di dalam diskusi kalian langsung menggunakan otot sebagai penyelesaian. Atau kampus kalian itu kamp-kamp pemelihara kekerasan seperti yang dilakukan Hitler....?”
Tapi....!”
”Jangan coba membela diri dulu kawan, ketika nama rakyat yang kalian pakai itu pernahkah kalian meminta persetujuan mereka terlebih dahulu? Sampai-sampai demokrasi yang kalian junjung itu kemudian melegalkan kalian merusak kami, yang hanya berdiri kaku disini mencoba membantu lalu lintas masyarakat agar tidak terjadi kesemrawutan maupun adanya kecelakaan. Apa salah kami....? lihat teman ku sana rambu-rambu lalu lintas dicerabut dari posisinya dan dibaringkan dijalan kemudian diinjak-injak oleh mahasiswa yang demo....,!
” Lalu kalau tidak begitu bagaimana mungkin demonstrasi yang kami lakukan di dengar oleh mereka yang kami demo....”!? kawan jangan menganggap semua itu kemudian menggambarkan secara keseluruhan....’
”Apanya kawan yang perlu didengar dari pengrusakan yang kalian lakukan?, bahkan berita yang muncul dimedia elektronik lebih menampilkan situasi kericuhan yang kalian lakukan itu lebih menjual ketimbang apa yang ingin kalian sampaikan.” itu yang kalian lakukan sebagai agent of change dan social control yang sering AKu dengar ketika kalian demonstrasi? Atau sumpah mahasiswa yang kalian kumandangkan dengan lantang ”bertanah air satu tanah air tanpa penindasan”, cobalah kawan pakai pembuktian terbalik, jika pemimpinnya seperti itu bagaimana dengan kalian apakah kalian sudah tidak pernah melakukan yang seperti itu? Adilkan...?”
” lalu menurutmu kawan apa yang mestinya kami lakukan, kawan....?
” kawan itu ada dalam diri kalian sendiri, kawan. Revolusi memang seringkali memakan korban jiwa, dalam perubahan pasti ada sebuah gesekan, memuai dari yang kecil tidak salah kok. Ketika kalian menuntut tentang etika para pejabat, apakah kalian sudah memperlakukan seperti itu setidaknya untuk tetangga kalian, belajar dari sejarah seperti yang dikatakan soekarno, tidak ada dendam dalam dunia intelektual kawan apalagi menyangkut sebuah dendam permusuhan, gunakan otak dan hatimu dalam bertindak....”
” saya tidak mengerti maksudmu, kawan...?!”
” Renungkanlah!, Kawan...! kau lihat dua orang anak yang meminta-minta disana, atau nenek tua pedagang kaki lima yang di sebelah sana? Mereka tidak tahu entah sampai kapan akan seperti itu. Mereka lebih butuh bantuan mu kawan dengan ilmu yang kau peroleh dari bangu kuliahmu ketimbang penutupan jalan dari demonstrasi yang kalian lakukan..”
Tanpa terasa adzan magrib berkumandang dari masjid sore itu, lalu si lampu merah mengatakan kata penutupnya, perjalanan seribu langkah dimulai dari satu langkah, kawan...! itu yang pernah aku baca dari sebuah sobekan kertas yang terbang dan menyangkut di tiangku, kawan....! mungkin lain kali kita sambung kawan sudah magrib, kau harus menghadapkan dirimu kepada Tuhan agar kau tidak menjadi orang-orang yang alpa, kawan...!
”Baiklah kawan, sampai ketemu lagi. Semoga kau bisa kembali menyala dan dapat mengatur lalu lintas disini kawan, karena jangan sampai karena seringnya macet disini dapat menjadi salah satu alasan Demonstrasi beberapa orang yang menyalahkan lambanya pemerintah atas pengembalian fasilitas rakyat yang mereka sendiri telah merusaknya...! sampai ketemu lagi kawan....!
Akhirnya kami berpisah karena sudah masuk waktu magrib, setidaknya ada pelajaran berharga yang saya dapatkan dari sebuah lampu merah di sisi jalan sana hari ini, semoga dapat bermanfaat nantinya.
Esoknya ketika saya kembali dan ingin kembali berdiskusi dengan si Lampu Merah namun tidak ada jawaban yang keluar dari si benda mati tersebut. Setelah saya selidiki kerusakan akibat lemparan batu semakin parah dan ditambah dengan guyuran hujan semalan menjadikannya tidak dapat berfungsi sama sekali. Semoga dia diperbaiki secepatnya........Si Lampu Merah.
(Kampus Unhas,12/03/2010).

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.