Langsung ke konten utama

Agama Islam, Tertinggi dalam Falsafah Perjuangan Masyarakat Buton

Ditulis oleh orangbuton di/pada 12 Oktober 2009
oleh : Bardin


Masyarakat Buton yang dikenal memiliki prinsip hidup yang kuat sudah terpatri sejak zaman kesultanan. Bahkan, fanatisme yang digambarkan dalam falsafah hidup juga telah menjadi modal dalam menata sendi sendi peri kehidupan.
Bagaimana Buton yang dikenal dengan seribu satu misteri dalam prinsip hidup menjadi sebuah sumber kekuatan dalam menangkal berbagai bentuk rintangan?. Bagaimana falsafah Hidup masyarakat Buton sehingga menjadi sebuah sumber kekuatan dalam segala sisi kehidupan?
Dalam sejarah perjuangan masyarakat Buton sejak peralihan Kerajaan menjadi Kesultanan, banyak rintangan yang dihadapi.Kekalahan panglima Perang Tobelo (La Bolontio) oleh Sultan Buton I Murhum atau Laki Laponto menjadi titik nol sejarah lahirnya Kesultanan Buton sejak lehadiran Syaikh Maulana Sayid Abdul Wahid mengajarkan Syariat Islam di negeri Butuuni pada abad ke-13.
Penobatan Murhum sebagai Sultan I yang menandai peri kehidupan berlandaskan Islam tidak serta merta berjalan mulus. Kekalahan Labolontio menuai dendam Kesultanan Ternate untuk menuntut balas. Kondisi ini tercatat dalam lembaran sejarah Buton di masa pemerintahan Sultan I Murhum yang dilantik pada tahun 1558 yang sebelumnya telah dilantik menjadi raja ke-6 pada 1538. Kala itu Sultan Murhum mengumumkan keadaan ‘Berkabung’ bagi negeri Buton yang dikenal dengan “Ya Barataamo yo Lipu” artinya negeri dalam keadaan genting atau darurat.
Peristiwa ini ditandai dengan kehadiran pasukan Tobelo dari kesultanan ternate yang ingin menggempur Buton dibawah pimpinan Sultan Baabullah. Di saat yang bersamaan Buton juga tengah menghadapi ancaman dari Kapal Perang Belanda.
Pasukan ternate ketika itu telah mengelilingi perairan sebelah utara Buton yang kini diabadikan dengan nama sebuah daerah yakni “Labuantobelo” artinya pelabuhan pasukan perang Tobelo.
Kondisi darurat itulah yang mengilhami terbentuknya 4 kerajaan Barata yang memperkuat barisan pertahanan Buton yakni Kaledupa, Tiworo, Muna dan Kulinsusu. Empat kerajaan barata ini diberi hak otonom untuk menangkal setiap serangan musuh yang dipimpin seorang Lakina (pemimpin setingkat raja).
Pada saat itu pula Sultan mengangkat dua orang kepala angkatan perang (Kapitalau) yang diberi tugas mengamankan kawasan barat (Kapitalau Sukanaeyo) dan timur (Kapitalau Matanaeo). Kapitalau Matanaeo diangkat La Kabaura dan Kapitalau Sukanaeyo diangkat Ketimanuru.
Di satu sisi, Buton menghadapi ancaman dari Tobelo dan di sisi lain juga menghadapi serangan dari Belanda. Saat itulah Sultan juga mengumandangkan beberapa untaian kalimat yang dikenal sebagai Falsafah Perjuangan Islam Buton yakni “Yinda Yindamo Arataa somanamo Karo artinya Korbankan harta demi keselamatan jiwa”, Yinda Yindamo karo somanamo Lipu artinya Korbankan Jiwa demi keselamatan negara”, Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara artinya Korbankan negeri demi keselamatan pemerintah” dan Yinda Yindamo sara somanamo Agama artinya korbankan pemerintah demi keselamatan Agama”. Agama menempati posisi tertinggi setelah pemerintah, negeri, jiwa dan harta.
Dalam berbagai literatur sejarah menjelaskan, jika kejayaan Negeri Buton tetap dipertahankan agar seluruh pemimpinnya mengedepankan persaudaraan. Sebab, dengan persaudaraan akan muncul persatuan dan kesatuan. Ada pula yang mengharapkan bahwa setiap pemimpin di negeri Buton untuk mengedepankan Agama dalam menjalankan pemerintahan. Dengan cara tetap menyelaraskannya dengan tetap menjunjung tinggi budaya yang bernafaskan Islam.
Itulah sebabnya, Buton dan seluruh masyarakatnya meyakini jika kekuatan yang maha dahsyat hanya dari Sang Pencipta. Hal ini dapat diperoleh dengan semangat persaudaraan yang menyeimbangkan penerapan Budaya lokal warisan leluhur dalam nuansa Islam sebagaimana para pendahulu negeri ini menata kehidupan dengan bentuk pemerintahan Kesultanan yang identik dengan Islam. Oleh sebab itulah faktor Agama menjadi hal yang paling utama dalam falsafah perjuangan masyarakat Buton…..***

sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.