Langsung ke konten utama

YANG MULAI SULIT ADA DI PERKOTAAN


Disaat hiruk pikuk perkotaan yang kian individualis, wilayah privasi menjadi begitu digdaya. Kita lalu, mulai sulit melihat ciri manusia sebagai makhluk sosial. Begitupun dengan kebersamaan, kesukarelaan dan kekompakkan dalam melakukan sesuatu. Ruang-ruang social kita hanya dapat mewujud dalam media social, tak lebih.

Selasa siang (14/11/2017) mendapat undangan dari salah seorang mahasiswa saya, desa kaongke-ongkea, salah satu desa di Kabupaten Buton. Undangan tersebut dalam rangka pingintan anaknya sekaligus acara syukuran pindahan rumah. Diawal, dalam pikiran saya, acara ini tidak begitu besar hanya sekedarnya, mungkin duduk dirumah lalu menyantap beberapa makanan tradisional khas sana.

Namun ternyata saya salah mengira, ketika sampai di lokasi. Nampak ramai, bapak-bapak sibuk membongkar panggung tempat acara, lalu para ibu-ibunya ada yang sibuk mencuci piring, merapikan dandang bekas masak, menyapu sekitar, hingga mulai memilah dan memilih piring dan gelas milik mereka yang sudah dicuci bersih.

Saya menanyakan perihal acara ini sebenarnya ke tuan rumah, katanya “ini acara sudah 3 hari 3 malam, pak. Memang begini mi tuntutan adat jadi kita lakukan saja, rame memang karena semua orang kampung terlibat, mereka ini sukarela karena kita kan baku keluarga-keluarga”.

Dalam benak saya, acara ini selayaknya kenduri satu kampong. Nyaris tiap orang-orang dalam kampong ini ikut terlibat. Jika ingin mengadakan sensus warga desa, saat itu mungkin tepat. Rasanya, saya ingin ikut melibatkan diri dalam hiruk-pikuk tersebut, ingin merasakan atmosfer yang terjadi dalam tradisi ini. Hanya saja, saya juga perlu menanyakan beberapa hal tentang ini kepada mereka, sesuatu yang kini mulai jarang ada di wilayah perkotaan.

Mereka lagi “hule”, setelah piring dan perlengkapan lainnya dicuci. Ibu-ibunya mereka cari piringnya yang mereka bawa sendiri dari rumah. Kalau ada yang pecah atau rusak, kita tidak minta ganti ke tuan rumah. Karena kalau nanti kita punya acara, dan mereka juga ada piringnya yang hilang atau rusak, mereka juga tidak minta ganti. Pokoknya, kita baku bantu-bantu, karena kalau acara juga mereka bantu kita. Ini penututan salah seorang ibu, yang saya tanyai tentang salah satu aktivitas saat itu.

Hule atau “mencari” ini juga bagian dari tradisi masyarakat disitu. Tidak perlu diingatkan, secara otomatis masyarakat saling bahu membahu untuk tolong menolong jika ada hajatan salah seorang warga desa. Sesuatu yang masih dipelihara dengan baik ini, menunjukkan sebuah nilai yang begitu indah untuk di ceritakan. Jika pun nanti diteliti sebagai bagian modal social, maupun unsur budaya dan modernitas ala desa, akan begitu menarik tentunya.

Disisi lain, saya juga menjumpai sejumlah lelaki yang bekerja saling bahu-membahu membongkar panggung acara. Menurut penuturan salah seorang warga, kayu dan sejumlah material yang dipakai sebagai panggung tersebut, tidak dibeli oleh tuan rumah. Namun kayu-kayu warga-lah yang dipakai pinjamkan. Jadi, setelah acara berlangsung, maka masing-masing warga turut membongkar dan mengambil membawa pulang kayu mereka sendiri. Bahkan buat kebersihan sekitar rumah yang punya hajatan adalah juga tanggungjawab bersama masyarakat desa. Tuan rumah hanya perlu mempersiapkan logistik untuk mendukung proses tolong menolong atau pohamba-hamba dalam bahasa setempat ini.

Ini menjadi menarik, tradisi seperti ini boleh jadi memiliki nilai modal social yang positif sejauh ini. Namun, kita juga tidak memungkiri bahwa di masa depan perubahan terhadap nilai-nilai kebersamaan seperti itu, justru diperhadapkan oleh ancaman yang boleh jadi berasal dari warganya sendiri. Begitupun yang terjadi di wilayah perkotaan, dahulu memiliki tradisi, ikatan dan juga kekerabatan yang seperti demikian. Hanya saja, waktu dan perkembangan zaman mulai mendisrupsinya.

Tapi terlepas dari hal itu, saya melihat bahwa kita diberi ajaran dari kearifan local yang bukan saja soal seremonial kegiatan saja, namun syarat akan nilai-nilai yang juga luhur. Pohamba-hamba (saling membantu) atau apapun namanya, merupakan identitas masyarakat yang telah mendarah daging. Jika hari ini sulit ditemukan prakteknya, utamanya di wilayah perkotaan, maka baiknya bukan sesiapa yang disalahkan, namun kita barangkali mulai abai melihat nilai yang ada pada diri sendiri.

Terima kasih sudah diundang, menyaksikan kegiatan seperti ini menyenangkan. Desa tetap mempesona dengan kearifannya.

Komentar

Tulisan Populer

Sierra Soetedjo

So please, stay with me forever Till the end of my life (The Only One, Sierra Soetedjo) Awalnya sekedar iseng mencari lagu jazz yang enak di dengar dalam Youtube, entah kenapa bebepa waktu ini saya menyenangi mendengarkan salah satu aliran musik ini. setahuku musik Jazz adalah aliran musik yang berasal dari Amerika Serikat pada awal abad ke-20 dengan akar-akar dari musik Afrika dan Eropa. dalam bermusik biasanya Musik jazz dicirikan dengan menggunakan gitar, trombon, piano, trompet, dan saksofon.

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

Menghunus Pedang Keberanian

Dalam suasana keberpihakan pada sesuatu yang tidak pernah atau belum pernah terlihat olehku bahwa itu terjadi. suasana akademik yang mulai ditinggalkan semenjak menyelesaikan studi S1 pada jenjang universitas malah menjadikanku menjauh pada situasi yang saya bangun demi pencapaian usaha masa depan. setidaknya ketakutan itu mulai muncul dan hilang kemudian muncul lagi entah apa yang mesti ditakuti saya pun belum sepnuhnya mengerti dengan hal ini. atau mungkin saja ini adalah yang orang-orang sebuat sebagai post graduated syndrome yakni adanya sebuah perasaan bebas dari rutinitas sebagai seorang mahasiswa dengan sederetan tugas atau kemudian menjadi sebuah kecemasan baru dengan sebuah status sosial sebagai sarjana namun masih uring uringan mencari saluran dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat. walaupun memang untuk itu kita mesti melewati berbagai situasional yang menyusunnya ataupun tetek bengek lainnya. kadang-kadang saya berpikir bahwa apakah ini sebuah upaya mempertahankan idealism