Langsung ke konten utama

Melawan Ketakutan di Sungai Oyoberfoto




berfoto dulu sebelum meluncur.

Ini adalah lanjutan cerita dari perjalanan wisata kami seangkatan di Gunung Kidul Jogjakarta. Setelah menyusuri gelapnya Gua Pindul maka dilanjutkan dengan melakukan refting di sungai oyo. Dengan menggunakan mobil pik up, kami dibawa ke sungai oyo yang perjalanannya sekitar 10 menit dari lokasi Gua Pindul. Ini masih merupakan paketan untuk wisata Gua Pindul tersebut.

Serunya perjalanan ini adalah pada saat kami harus melewati kebun pohon kayu putih, yang semula setahu saya pohon kayu putih hanya bisa tumbuh didataran daerah Maluku dan Ambon sana. Ternyata di gunung kidul juga terdapat pohon kayu putih, namun untuk hasilnya seperti yang ada di ambon bisa jadi berbeda.

Sungai Oyo, seperti sungai biasa pada umumnya karena arusnya juga tidak terlalu deras sehingga belum bisa membuat adrenalin sedikit tertantang dengan derasnya arus. Namun memang ini cukup menyenangkan menyusurinya, walaupun kelihatannya kita seperti sekumpulan orang-orang yang menaiki ban dan memakai jaket pelampung yang hanyut di sepanjang sungai. Tapi untuk keindahan bebatuan disekitar sungai bisa memanjakan mata pengunjung, tapi tidak untuk airnya yang serupa kopi susu warnanya.

Awalnya saya mungkin akan sedikit kecewa jika kondisinya seperti ini, seperti hanya menaiki ban dalam dengan memakai pelampung menyusuri sungai. Bisa jadi dalam benak saya akan menganggap bahwa refting tidak lebih dari pada “hanyut di sungai” berbayar pula. Tapi, kata mas guidenya didepan ada spot untuk meloncat ada yang sekitar 5 meteran hingga yang 12 meter. Nanti kalau berani silahkan coba, begitu kata guide kami.

Akhirnya kami sampai pada titik spot itu, dan disitu juga telah banyak orang yang mencoba melompat, menyenangkan!. Kami singgah, untuk sejenak menikmati guyuran air terjun yang walaupun tidak terlalu tinggi namun menyegarkan. Belum ada yang berani mencoba meloncat dari ketinggian 12 meter, baru mencoba yang 5 meteran saja. Itupun sudah membuat adrenalin terpacu, padahal kalau dipikir dibawah cuman air bukan batu tapi tetap aja ada ketakutan yang menyelusup didalam dada. Sampai ada beberapa pemuda disebelah saya yang hanya saling menunjuk siapa duluan, bahkan saya perhatikan sampai keringat dingin.
 
Dalam pikiran saya, kalau misalnya hanya ini saya tidak bisa karena takut bagaimana dengan tantangn yang lain? Toh dibawah cuman air, akan ada yang menolong kalau kenapa-kenapa, terus sudah memakai jas pelampung juga. Sudahlah, harus bisa meloncat toh cuman 5 meter ini. setelah mencoba sekali, ternyata ketakutan itu lebih besar daripada apa yang merupakan tantangan yang ada. Ketakutan kemudian membangun imaji yang sebenarnya tidak ada, disinilah mungkin kekuatan pikiran yang bisa membuat perbuatan itu positif atau negatif.

Ternyata pada spot 12 meter ada yang ingin mencobanya, salah satu teman saya mbak catur. Memberanikan diri melompat dari ketinggian 12 meter, glekkk....sejenak melihatnya sudah membuat adrenalin menjadi lebih terpompa. Melihatnya melompat malah menjadikan ketakutan untuk melompat tadi kembali lagi, bukankah ketakutan bisa saja lebih besar daripada tantangan yang ada?. mesti dicoba juga, masa perempuan bisa saya tidak bisa? Saya berbicara dalam hati. Sekali lagi melompat di ketinggian 5 meter, kemudian mencoba yang 12 meter. Ketakutan harus dilawan.

Mencoba melompat dari ketinggian 12 meter itu tantangan, namun baru sampai pada tempat melompatnya saja sudah membuat ngeri, jantung berdegup menjadi lebih kencang. Tapi pikiran ini tetap akan dilawan, masa sudah sampai kesini mau turun kembali. Kalau ketakutan ini ternyata lebih besar dari tantangannya, lalu suatu saat nanti ada satu hal yang akan saya sesali tidak sempat dilakukan ketika raga masih sanggup (begitu kira-kira yang sering diucapkan di film-film heheh).

Berani melawan salah satu ketakutan, karena terkadang ketakutan hanya buatan-buatan dalam pikiran terhadap sesuatu yang kita lihat terjadi pada orang lain. Padahal bisa jadi berbeda jika itu terjadi pada kita, kita tidak pernah tahu kekuatan kita jika hanya melihat apa yang terjadi pada orang lain dan itu menjadi ukuran kita seperti itulah adanya kita. Jangan pernah membandingkan kelebihan atau kekurangan orang lain dengan kekurangan dan kelebihan kita, itu tidak adil dan setara namanya.

Memberanikan diri meloncat di ketinggian 12 meter rasanya seperti hilang pikiran kita, tubuh ditarik oleh gravitasi pada saat pertengahan itu membuat jantung seperti ikut tertarik juga. Namun setelah sampai pada air sungai, semuanya seperti kembali lagi pikiran menjadi lebih senang, ketakutan yang tadi tenyata hanya imaji yang dibuat pikiran-pikiran kita yang seyogyanya tidak lebih besar dari tantangan yang ada.

Saya jadi ingat perkataan dosen, beliau bilang terkadang kita menganggap bahwa ditengah perjalanan kita itu ada batu besar dan sulit untuk ditempuh, namun jangan berhenti tetaplah berjalan maka ketika itu terlewati bisa jadi batu besar itu hanya seperti batu kerikil, bahkan ketika nantinya akan terasa seperti butiran pasir saja.

Intinya, terkadang ketakutan kita itu membuat kita tidak mampu untuk melangkah, maka lawanlah ketakutan itu dengan menjalaninya. Karena kita tidak akan pernah tahu seperti apa tantangan itu sebelum kita mampu menjalaninya. Jangan bebani pikiran kita dengan perkatanyaan yang hanya “katanya” dan “katanya”. Semangat!!!!

(Surakarta, 6 Juni 2013)

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.