Langsung ke konten utama

Menghunus Pedang Keberanian



Dalam suasana keberpihakan pada sesuatu yang tidak pernah atau belum pernah terlihat olehku bahwa itu terjadi. suasana akademik yang mulai ditinggalkan semenjak menyelesaikan studi S1 pada jenjang universitas malah menjadikanku menjauh pada situasi yang saya bangun demi pencapaian usaha masa depan. setidaknya ketakutan itu mulai muncul dan hilang kemudian muncul lagi entah apa yang mesti ditakuti saya pun belum sepnuhnya mengerti dengan hal ini. atau mungkin saja ini adalah yang orang-orang sebuat sebagai post graduated syndrome yakni adanya sebuah perasaan bebas dari rutinitas sebagai seorang mahasiswa dengan sederetan tugas atau kemudian menjadi sebuah kecemasan baru dengan sebuah status sosial sebagai sarjana namun masih uring uringan mencari saluran dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat.

walaupun memang untuk itu kita mesti melewati berbagai situasional yang menyusunnya ataupun tetek bengek lainnya. kadang-kadang saya berpikir bahwa apakah ini sebuah upaya mempertahankan idealisme sewaktu mahasiswa dulu atau hanya ketakutan terhadap sebuah sistem yang ada ataupun sebuah kompetensi yang disyaratkan. semestinya hari ini upaya pendewasaan diri itu bukan hanya melalui rangkaian kata-kata saja namun mestinya dimasukkan dalam serangkaian tindakan. dengan menghunus pedang keberanian dan istiqomah didalamnya saya pikir perlu dilakukan atau masa depan yang kita konstruksikan dalam ranah imajinatif kita akan hangus oleh keluguan kita menanggapi kehidupan ini. sekaranglah saatnya saat dituliskannya ini....

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

Sepotong Puding Berwarna Kuning

Ayra!. Melihamu pulas dalam tidurmu.. Nyenyak, tenang, walapun sesekali kau bergerak untuk mencari kenyamanan dalam tidurmu. Atau kau sedang bermimpi sesuatu. Tapi raut wajahmu tetap tenang, berbeda dengan orang dewasa yang lebih banyak berpikir tentang ini dan itu. “rambutmu, matamu, bibirmu, raut wajahmu memberikan ketenangan dalam memperhatikanmu. Inikah salah satu jawaban bahwa anak kecil itu “suci”. “Silahkan makan…” Untuk kesekian kalinya. Hanya melihat.. Sepotong pudding yang tersaji, sejak tadi disuruh untuk memakannya. Namun belum kusentuh belum kucoba hanya berkata “iye!”. Masih sibuk dengan logikaku ketika ada yang lain dari sebuah suguhan ini, “perhatian lain” menurutku. Apa yang ingin kukatakan padanya? Terimakasih tidaklah cukup, ku harus mencobanya, mencoba rasanya atau mungkin ada setetes kasih di dalamnya untukku!! “tapi ada sebungkus ikhlas menyertainya, namun untukku kah?” Memotong memori ketika itu, tentang sepotong pudding berwarna kuning yang disuguhk

Memaknai Moment

Terima Kasih atas ucapan teman, sahabat dan saudara untuk hari kemarin, hari kelahiran yang tercatat oleh negara melalui akta kelahiran dan juga KTP, SIM dan sebagainya.. Kita mungkin menggunakan media sosial sebagai sarana, yang juga sekaligus media yang membuat kita berjarak, begitu dekat namun sejatinya sungguh berjauhan. Tapi bukan itu esensinya, apalah gunanya pertemuan tanpa pesan. Dan ucapan yang ditujukan buat saya adalah pesan buat saya, ucapan yang menembus waktu meluruhkan ruang. Terima Kasih, kata-kata itu menyerupai doa, sekaligus pengingat kepada saya. pengingat yang berkata "heyy...lakukanlah itu". Ngomong-ngomong tentang pengingat, saya begitu mengingat apa yang kakek pernah berpesan. Momentnya juga tepat seperti kemarin, moment kelahiran. Beliau berpesan, "tak menjadi soal jalan mana yang kamu pilih, namun seperti apa sejarah (manfaat) yang bisa kamu berikan melalui jalan itu". Sederhana namun begitu memberi bekas, dan saya ingin membagi ini kepa